Minggu, 01 Januari 2012

Perang Saudara


Ketika peradaban melanjutkan kemajuannya didukung oleh iman dan pengetahuan, ia terperangkap dan dihancurkan oleh kebodohan dan keserakahan. Bahkan ketika tentara Muslim terus maju menuju perbatasan India, Cina dan Samudera Atlantik, benih dari keserakahan dan nepotisme sedang ditaburkan di jantung Islam. Ghanimah dari Persia sangat besar. Jumlah tak terhitung dari emas, perak dan perhiasan dibawa dari Persia dan diangkut ke Madinah. Diriwayatkan bahwa Umar RA gelisah ketika kekayaan Persia dihadapkan kepadanya. "Ketika Allah memberikan kekayaan untuk suatu bangsa", katanya, "iri dan cemburu tumbuh dalam diri mereka dan akibatnya permusuhan dan ketidakadilan muncul dalam tingkatannya masing-masing". Dengan wawasan ruhani mereka, para sahabat telah meramalkan apa yang akan dilakukan kekayaan ini terhadap karakter orang-orang mereka. Mereka menentang pengumpulan kekayaan yang akan menjauhkan mereka dari misi spiritual Islam. Sebagai contoh, salah satu item ghanimah dari Persia adalah karpet indah yang disebut "farsh-e-bahar" (karpet musim semi). Ia adalah milik penguasa Persia dan begitu besar sehingga bisa menampung seribu tamu di pesta-pesta minum mereka. Beberapa orang di Madinah ingin memilikinya. Ali bin Abu Thalib Kwh bersikeras bahwa karpet itu disobek. Saran Ali Kwh diterima dan karpet disobek.

Umar RA melihat bahwa baitul mal tidak boleh menjadi tempat untuk penimbunan emas dan perak. Permata dan perhiasan dijual dan hasilnya didistribusikan sehingga semua orang diuntungkan. Modal dalam sirkulasi tumbuh dan perdagangan berkembang. Sejarah mencatat bahwa ketika Umar bin Khattab RA dibunuh, ada ransum dalam baitul mal yang hanya cukup untuk memberi makan sepuluh orang. Ketegasan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan untuk mengelola kekayaan dari luar hilang tiba-tiba dengan wafatnya Umar RA. Dalam sepuluh tahun kematiannya, masyarakat Islam berselisih dan berada di tengah-tengah perang sipil skala penuh.

Setelah iman, kekayaan adalah mesin yang paling penting dalam membangun sebuah peradaban. Kekayaan yang diinvestasikan dan dikelola dengan benar, sebagai energi surplus dari usaha manusia, mendorong penemuan dan kemajuan peradaban. Ketika ia ditimbun, ia akan mengarah ke kontraksi ekonomi, melahirkan kecemburuan, mendorong intrik, keserakahan, pertikaian dan akhirnya menghancurkan peradaban.

Kita menemukan bahwa asal-usul dari perang saudara adalah emas dari Persia. Selama tokoh besar Umar RA masih ada, tekanan yang mengiringi kekayaan mendadak masih dapat dikontrol. Umar RA mengelola negara dengan keadilan, ketegasan dan kesetaraan. Indikasi kecil dari nepotisme segera dihukum. Membesarkan diri tidak berani dilakukan di depan publik. Bahkan seorang jenderal populer dan sukses seperti Khalid bin Walid tidak luput dari hukuman ketika ditemukan bahwa ia telah membayar seorang penyair untuk sebuah lirik yang memuji dirinya sendiri (meskipun Khalid kemudian dibebaskan saat dipastikan bahwa dia telah membayar dengan uang dari kantongnya sendiri).

Ketika ia terbaring di ranjang kematiannya, Umar RA menunjuk sebuah komite enam orang untuk memilih penggantinya dengan instruksi eksplisit bahwa mereka tidak boleh memilih putranya sendiri, Abdullah bin Umar RA, atau untuk mencalonkan diri mereka sendiri. Komite terdiri dari Ali bin Abu Thalib Kwh, Utsman bin Affan RA, Zubair bin  al Awwam, Thalhah bin Ubaidallah, Sa'ad bin Waqqas dan Abdur Rahman bin Aus. Abdur Rahman bin Aus diberi tanggung jawab dalam mengumpulkan aspirasi dari masyarakat mengenai masalah suksesi. Ia melakukannya dan menemukan bahwa ada dukungan yang luas untuk Ali Kwh dan Utsman RA. Sebelum pertemuan besar di masjid Nabi, pertanyaan diajukan kepada dua kandidat: "Apakah engkau akan melaksanakan tanggung jawab dari kantor ini sesuai dengan perintah Allah, Rasul-Nya dan contoh dari dua Syaikh (Abu Bakar RA dan Umar RA)?"Ali Kwh diberikan kesempatan pertama. Beliau menjawab bahwa ia akan menjalankan kantor sesuai dengan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya. Jawabannya dapat diartikan bahwa Ali Kwh ambigu mengenai warisan Abu Bakar RA dan Umar RA. Utsman RA kemudian ditanyakan pertanyaan yang sama dan beliau menjawab bahwa sungguh ia akan melayani sesuai dengan perintah-perintah Allah, Rasul-Nya dan contoh dari dua Syaikh. Utsman bin Affan RA memenangkan nominasi dan terpilih sebagai khalifah.

Pertanyaan tersebut, meskipun tampaknya tidak berbahaya, diajukan dalam mendukung Utsman RA (para sahabat lebih menyukai Utsman RA, karena Ali Kwh sama kerasnya dengan Umar RA dalam hal harta - pen). Kecuali untuk membuat suatu alasan yang kuat untuk keberlanjutan sejarah, beberapa ulama berpendapat bahwa tidak diperlukan untuk memasukkan tradisi dari dua Syaikh sebagai prasyarat untuk Kekhalifahan di persimpangan itu. Masalah ini, adalah jauh lebih dalam daripada argumen yang sesederhana ini. Apa yang terjadi adalah  keberlangsungan sejarah dari perbedaan di antara para sahabat tentang isu ijma (konsensus, kesepakatan) dalam penerapan syariah. Perbedaan-perbedaan tersebut dikodifikasikan di kemudian hari dalam berbagai mazhab Fiqh. Yang penting adalah bahwa perbedaan tersebut tidak doktriner, melainkan perbedaan dalam penekanan.

Utsman RA telah berusia lebih dari tujuh puluh tahun ketika terpilih sebagai Khalifah. Beliau adalah seorang yang saleh, seorang ulama, seorang yang berintegritas tinggi dan rendah hati dan salah satu dari sahabat Nabi yang paling awal. Dia adalah seorang pria kaya dan menggunakan kekayaannya dengan murah hati dalam pelayanannya kepada umat Islam. Ia menikah dengan Ruqaiyya, putri Nabi dan setelah kematiannya menikahi Ummu Kultsum, putri lain dari Nabi. Tetapi Utsman RA juga sangat pemalu dan tidak tegas. Sifat ini, yang mungkin berbahaya di dalam diri seorang individu, yang telah terbukti fatal ketika Utsman RA menjabat sebagai penguasa. Lebih signifikan lagi, Utsman RA berasal dari Bani Umayyah. Dalam masa pra-Islam, Bani Umayyah sering bersaing untuk kekuasaan dan prestise dengan Bani Hasyim, suku dari mana Nabi dan Ali bin Abu Thalib Kwh berasal. Faktor-faktor ini menjadi semakin penting ketika kesatuan yang telah dipupuk oleh Islam retak di bawah tekanan yang dihasilkan selama periode Utsman RA.

Kekhalifahan Utsman RA berlangsung selama dua belas tahun dan dapat dibagi menjadi dua tahap yang berbeda. Selama masa enam tahun pertama, momentum yang diciptakan oleh Umar bin Khattab RA membawa tentara Muslim lebih lanjut ke Azerbaijan, Kirman, Afghanistan, Khorasan dan Kazakhstan di timur dan Libya ke barat. Beberapa pemberontakan di Kurdistan dan Persia ditindas.

Dua inisiatif yang dilakukan oleh Usman RA selama periode ini memiliki dampak abadi pada sejarah Islam. Adalah atas inisiatif Utsman RA bahwa pengucapan Al-Qur'an distandardisasi. Al-Qur'an diwahyukan kepada Nabi sebagai Firman Allah dan dihafalkan oleh ratusan hufaz. Setelah Pertempuran Yamama ketika banyak  hufaz yang tewas, Abu Bakar as Shiddiq RA, atas saran Umar bin Khattab RA, telah menuliskan Qur'an persis seperti yang telah diatur oleh Nabi. Kitab ini disebut mushaf as Siddiqi. Bahasa Arab, seperti yang biasanya ditulis, tidak menunjukkan vokal dan pengucapan yang diambil dari konteks. Oleh karena itu, mushaf as Siddiqi tidak menunjukkan vokal. Ketika Islam menyebar ke luar perbatasan Arab ke daerah yang tidak dapat berberbahasa Arab, muncul risiko salah pengucapan dengan konsekuensi salah tafsir. Utsman RA memerintahkan penyusunan salinan tertulis Quran yang menunjukkan vokal dan konsonan, konsisten dengan bacaan Nabi. Dimana gaya bacaan yang digunakan oleh Nabi bervariasi, gaya ini sangat diperhatikan.

Inisiatif kedua adalah membangun angkatan laut. Umar RA telah menolak ide tersebut sebagai prematur bagi tentara Arab yang terbiasa melakukan gerakan cepat di padang pasir. Setelah rekomendasi dari Muawiyah, Utsman RA memerintahkan pembangunan angkatan laut yang kuat untuk melawan kekuasaan Bizantium di Mediterania timur. Angkatan laut dibangun dan Siprus dikalahkan. Ekspansi lanjut dari angkatan laut memberikan kemampuan sepuluh tahun kemudian untuk serangan angkatan laut di ibukota Bizantium, Konstantinopel (Istanbul modern).

Selama paruh kedua kekhalifahan Utsman RA perpecahan serius muncul di dalam komunitas Islam. Sifat pemalu, lamban dalam mengambil keputusan dan tidak tegas dari Utsman membuka peluang untuk terjadinya kerusakan. Beberapa di antara suku Bani Umayyah mengambil keuntungan dari ketidaktegasan ini untuk membangun estate yang besar bagi diri mereka sendiri. Utsman RA telah menggantikan beberapa administrator yang ditunjuk oleh Umar RA dan menggantikan mereka dengan orang-orang dari suku Bani Umayyah. Beberapa orang yang ditunjuk ini tidak qualified (cakap) untuk menjalankan tugas mereka. Ketika ketidakmampuan petugas ini dibawa ke hadapannya, Utsman RA sering tidak tegas dan menunda tindakan korektif. Karena Utsman RA sendiri berasal dari Bani Umayyah, ia rentan terhadap tuduhan nepotisme. Persaingan suku Pra-Islam antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah, yang telah ditundukkan sejak zaman Nabi, kini muncul kembali.

Unsur yang paling penting dalam ketidakstabilan politik berikutnya adalah kekayaan yang sangat besar yang diperoleh dari Persia. Mas'udi mencatat (seperti yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun, Muqaddamah, halaman 478, op. Cit.), "Pada hari Khalifah Utsman RA dibunuh, bendahara baitul mal memiliki dalam koleksi pribadinya, sejumlah 150.000 dinar dan 1.000.000 dirham. Selain itu, ia memiliki properti senilai 200.000 dinar di lembah-lembah Qura dan Hunain di mana ia menyimpan sejumlah besar unta dan kuda. Salah satu properti yang dimiliki oleh Zubair adalah senilai 50.000 dinar di mana dia menyimpan 1.000 kuda. Thalhah memperoleh pendapatan sebesar 1.000 dinar dari properti di Irak. Abdur Rahman bin Auf memiliki 1.000 kuda di kandang selain 1.000 unta dan 10.000 ekor domba. Setelah kematiannya, seperempat dari tanahnya bernilai 84.000 dinar. Zaid bin Tsabit memiliki bongkahan emas dan perak yang membutuhkan sebuah kapak besar untuk memotongnya. Zubair telah membangun beberapa rumah di Bashrah, Mesir, Kufah dan Alexandria. Demikian pula, Thalhah memiliki sebuah rumah di Kufah di samping sebuah rumah tua di Madinah, yang telah direnovasi dengan batu bata, semen dan kayu oak. Sa'ad bin Waqqas telah membangun sebuah rumah tinggi dan luas terbuat dari batu merah. Maqdad membangun sebuah rumah di Madinah yang diplester dalam dan luarnya." 

Mas'udi juga menyatakan bahwa kekayaan ini diperoleh secara sah melalui ghanimah dan perdagangan. Sementara kekayaan yang diperoleh secara sah tidak mempengaruhi para sahabat, banyak orang lain di dalam umat yang kurang percaya tentang bagaimana kekayaan itu diperoleh atau bagaimana kekayaan itu digunakan. Kemewahan baru dari masyarakat sangat kontras dengan kesederhanaan yang ditunjukkan oleh kehidupan khalifah sebelumnya. Umar bin Khattab RA, ketika ia menjadi Khalifah, biasa menutup lubang di pakaian compang-campingnya dengan tambalan dari kulit kambing. Tetapi zaman telah berubah. Kedatangan emas Persia telah merubah karakter dari beberapa orang Arab. Damaskus, yang diperintah oleh gubernur Umayyah, menjadi kota istana. Sebuah proses yang tak terhindarkan dari pembusukan telah dimulai dimana dekadensi kemewahan menggantikan kesederhanaan hidup nomaden dan menjauhkan pria dan wanita dari transendensi jiwa kepada kesenangan jasmani. 

Korupsi yang meningkat memberikan peluang bagi penyebaran rumor, gosip dan kerusakan. Dalam skenario bergejolak ini, dua tokoh muncul sebagai ancaman yang menyeramkan. Salah satunya adalah Abdullah bin Saba, seorang yang baru memeluk Islam, mencoba mengadu Utsman RA melawan Ali Kwh dan menghasut rakyat Kufah (Irak) dan Mesir terhadap Utsman RA. Yang lainnya adalah Hakam bin Marwan, seorang Umayyah, yang telah ditunjuk Utsman RA sebagai Sekretaris Kepala nya. Hakam bertanggung jawab untuk korespondensi resmi dan menyalahgunakan posisi istimewa tersebut untuk mengkhianati Utsman RA pada saat-saat kritis. Ketidakpuasan dan ketidakpuasan akhirnya meletus dalam pemberontakan terbuka. Kelompok pemberontak dari Kufah dan Mesir memasuki Madinah, mengepung kediaman Khalifah dan menuntut pengunduran dirinya. Utsman RA tidak bisa memenuhi permintaan ini karena hal itu akan menghancurkan kekhalifahan sebagai sebuah institusi. Dia diserang dan tanpa ampun dieksekusi pada tahun 655. Perang saudara telah dimulai. 

Tindakan yang didorong oleh nafsu menghasilkan gairah yang sama dengan konsekuensi yang tak terduga. Pembunuhan Utsman RA menimbulkan kekacauan di Madinah. Tidak ada kepemimpinan, ketertiban dan otoritas di kota. Jenazah Utsman RA terbaring tidak ada yang berani mengurusnya selama lebih dari 24 jam sampai akhirnya sekelompok Muslim memberanikan diri untuk melakukan shalat jenazah dan menguburkan khalifah yang dibunuh di kegelapan malam. Hanya tujuh belas orang yang menghadiri pemakaman. Di tengah kekacauan ini, Ali bin Abu Thalib Kwh diminta untuk menerima tugas kekhalifahan. Beliau awalnya ragu-ragu, tetapi menyerah atas desakan dari beberapa sahabat terkemuka Nabi dan menjadi Khalifah Islam keempat. 

Ali Kwh memahami bahwa pembunuhan Utsman Kwh adalah gejala dari keburukan yang lebih dalam. Emas Persia telah menciptakan angin puyuh yang kuat di mana tubuh politik Islam telah dikalahkan oleh kekayaan. Beberapa kekayaan ini telah menemukan jalannya ke ibu kota provinsi di mana para pejabat gubernur telah terbiasa dengan gaya hidup mewah. Mereka yang telah terbiasa dengan gaya hidup mewah ini enggan untuk berubah dan kembali ke kesederhanaan yang diperintahkan oleh Nabi. 

Prioritas pertama Ali Kwh adalah menciptakan ketertiban. Dia menghendaki untuk mencapainya sedemikian rupa sehingga penyakit itu sendiri akan sembuh. Menyadari bahwa setiap reformasi harus dimulai dari atas, Ali Kwh menuntut pengunduran diri gubernur-gubernur provinsi. Sebagaimana akan kita lihat, ini terbukti menjadi keputusan yang naas. Beberapa gubernur mematuhi, yang lain menolak sebagai tanda deklarasi terbuka atas pemberontakan. Terkenal di antaranya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Umayyah Suriah. 

Iman dan kekayaan adalah dua mesin yang paling kuat dari sejarah. Kita melihat untuk pertama kalinya setelah pembunuhan Utsman RA tarikan berlawanan dari dua elemen ini. Kekayaan itu seperti kuda liar. Bila dijinakkan, ia bergerak dengan anggun dan memberikan kekuatan untuk pengendara. Bila liar, ia menghancurkan dirinya sendiri dan pengendaranya. Iman adalah yang menjinakkan kekayaan. Tanpa disiplin yang berasal dari iman, kekayaan akan menyebabkan keserakahan dan menghancurkan semua yang telah membangun peradaban. Yang diperlukan setelah penaklukan Persia adalah kedisiplinan dan ketegasan dari seseorang seperti Umar RA. Sifat pemalu dan lamban bertindak dari Khalifah  ketiga Utsman RA adalah resep untuk bencana. Dalam paruh kedua kekhalifahan Utsman RA, kita melihat bagaimana kekayaan baru telah melahirkan korupsi dan nepotisme, mengancam untuk menghancurkan iman kuat yang telah memungkinkan umat Islam untuk memenangkan kekayaan. 

Ali Kwh, karena ia dilatih oleh Nabi Muhammad SAW, ingin membangun kembali kehidupan Islam seperti contoh murni dari Nabi. Tetapi zaman telah berubah. Penaklukan Kekaisaran Persia telah membuat beberapa tokoh sangat kaya. Tokoh-tokoh ini lebih suka berperang untuk keistimewaan mereka daripada menyerah. Islam sebagai agama dunia dan akhirat harus bersaing dengan kekuatan pribadi dan prestise untuk merebut kesetiaan hati orang-orang. Transendensi dari contoh Nabi sekarang dihadapkan dengan realitas duniawi dari emas dan keserakahan. 

Iman dan keserakahan terkunci dalam pertempuran fana. Terhadap latar belakang ini, pembunuhan Utsman RA adalah suatu peristiwa yang memberikan bahan bakar untuk para petempur. Prioritas Ali Kwh adalah untuk menciptakan ketertiban. Tetapi banyak dari para sahabat menginginkan untuk menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman RA sebagai prioritas pertama. Mereka menuntut qisas (penangkapan dan hukuman bagi pembunuh seperti yang telah ditentukan oleh Al-Qur'an). Bagi mereka, keadilan harus didahulukan atas ketertiban. 

Tidak ada yang sangat terkejut di dalam umat Islam atas pembunuhan Utsman RA daripada Aisyah binti Abu Bakar RA, istri Nabi, yang mengangkat isu qisas. Sahabat Terkemuka seperti Thalhah bin Ubaidallah dan Zubair bin al Awwam bergabung. Pada tahun 656, Aisyah RA berangkat dari Mekkah menuju Basrah (Irak) dengan kekuatan 3.000 orang. Ini adalah saat yang sangat serius. Saat itu adalah Ummul Mukminin sendiri, yang berbaris keluar untuk menangkap dan menghukum para pembunuh Utsman RA dan dalam proses itu, beliau telah menjatuhkan otoritas kekhalifahan. Rasa sedih dan tidak berdaya menghinggapi masyarakat Mekah. Beberapa sahabat ikut bergabung, termasuk para sahabat terkenal Nabi seperti Thalhah bin  Ubaidallah dan Zubair bin  al Awwam. Sejumlah besar orang merasakan gravitasi situasi dan berusaha tetap netral. 

Posisi Aisyah RA, meskipun termotivasi oleh keinginan kuat untuk mereformasi masyarakat dan menghukum yang bersalah, memiliki efek menciptakan sebuah kekuatan bersenjata yang independen dari Khalifah dan melemahkan kewenangannya. Tidak mungkin ada dua kekuatan bersenjata independen dalam satu negara politik. Keadilan, sebagaimana yang dituntut oleh Aisyah RA, pasti akan menjerumuskannya ke dalam konflik dengan prioritas ketertiban yang diinginkan oleh Ali Kwh. Dua kelompok tersebut bertabrakan pada Pertempuran Jamal (Unta). 

Ali Kwh pada mulanya bersiap-siap untuk berbaris ke Suriah untuk membawa Muawiyah di bawah kontrol. Namun gerakan pasukan Mekah di bawah pimpinan Aisyah RA ke Irak adalah gangguan yang tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, Ali Kwh berbaris menuju Irak dengan kekuatan 700 laki-laki. Ini satu lagi keputusan yang naas, bagi Ali Kwh yang tidak pernah bisa kembali lagi ke Madinah. Roda takdir  telah ditetapkan dalam perputarannya. Saat mendekati Kufah (Irak), pasukan Ali Kwh diperkuat oleh suatu kontingen yang kuat dari beberapa ribu orang Irak. Hanyalah masalah waktu sebelum pasukan gabungan dari Madinah dan Irak di bawah Ali Kwh akan menghadapi pasukan Mekah dibawah Aisyah RA. 

Upaya-upaya dilakukan yang ditujukan untuk membawa posisi dari kedua belah pihak bersama-sama untuk menghindari konflik bersenjata. Sebuah kesepahaman memang berhasil dicapai di antara kedua belah pihak untuk menghindari perang dan mendamaikan masyarakat. Tetapi terdapat beberapa pembuat onar di antara kedua kelompok. Faksi yang bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman RA menetapkan untuk menyabot perjanjian karena rekonsiliasi damai akan menghadapkan mereka kepada hukuman berat dari kedua belah pihak. Salah satu faksi, yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba yang baru memeluk Islam, sangat aktif di Irak dan Mesir. Bertekad untuk menjegal kesepakatan damai dengan cara apapun, mereka menyerang kamp-kamp di kegelapan malam. Selanjutnya dalam kebingungan, masing-masing pihak mengira bahwa yang lainnya telah menipu mereka. Ketika Aisyah RA naik ke untanya untuk mengendalikan situasi di bawah kontrol, kelompoknya mengasumsikan bahwa ia melakukannya untuk secara pribadi memimpin pasukan. Perang saudara meletus. Ribuan orang tewas dalam hitungan jam. Di antara korban konflik adalah sahabat terkenal Thalhah bin Ubaidallah. Sahabat lain yang terkenal, Zubair bin al Awwam menarik diri dari keributan, tetapi dibunuh dalam perjalanan dari medan perang. Menyadari bahwa selama Aisyah RA berada di atas untanya, pertempuran akan terus berlanjut, Ali Kwh memerintahkan untanya untuk dijatuhkan (dengan memanah kakinya - pen). Ketika untanya jatuh, pasukan Aisyah jatuh ke dalam kekacauan. Ali Kwh secara pasti telah memenangkan pertempuran. Aisyah RA diperlakukan dengan penghormatan sepenuhnya dan dikirim kembali ke Mekah di bawah pengawalan militer. 

Pertempuran Unta adalah bencana bagi umat Islam. Ia menghancurkan kekompakan komunitas Islam yang telah begitu susah payah ditempa oleh Nabi. Aisyah RA sendiri menyatakan penyesalannya atas pertempuran tersebut menjelang akhir hidupnya. Ini adalah ronde pertama dalam perang saudara yang mengguncang Islam dan memuncak di Karbala. Meskipun Ali Kwh secara pasti telah memenangkan pertempuran, hal ini telah melemahkan posisi politiknya dan mendorong lawan-lawannya untuk bertahan dalam tuntutan mereka untuk qisas. Para pembunuh Utsman RA merasa yakin bahwa mereka bisa bersembunyi di balik salah satu faksi atau yang lainnya dan lolos dari hukuman. Memang, Ali Kwh tidak pernah bisa untuk menyelenggarakan pengadilan untuk membawa para pembunuh Utsman RA ke pengadilan. 

Perang Unta memberi Muawiyah tambahan waktu untuk mempersiapkan perjuangan yang akan datang melawan Khalifah Ali bin Abu Thalib Kwh. Jubah bernoda darah milik Utsman RA digantung di pintu Masjid Agung di Damaskus. Orang-orang dari  wilayah yang jauh dan luas datang mengunjungi masjid dan melihat darah Utsman RA, akan menangis dan mengambil sumpah untuk membalas darah khalifah ketiga. Keterlibatan Ali Kwh dalam pembunuhan Utsman RA dituduhkan, awalnya diam-diam dan kemudian terbuka. Muawiyah meminta dukungan dari seorang orator terkenal, Shurahbeel bin Samat Kindi, untuk menyebarkan tuduhan ini ke wilayah yang jauh dan luas di Suriah. Dengan cara seperti itu, Muawiyah berhasil menyatukan Suriah melawan Ali Kwh dan membangun kekuatan militer yang solid sebanyak 70.000 orang untuk menghadapinya. 

Pertempuran antara Ali Kwh dan Muawiyah adalah contoh klasik dari pertempuran antara prinsip dan politik. Beberapa Muslim memandangnya sebagai perjuangan antara Tariqah dan Syariah. Lainnya menghindar dari membahas konflik sama sekali, menyatakan penghormatan dan penghargaan karena semuanya adalah sahabat Nabi. Namun yang lain mempertahankan bahwa ijtihad (penalaran hukum) baik dari Ali Kwh dan Muawiyah adalah benar, tetapi Ali Kwh adalah berada pada suatu tatanan yang lebih tinggi daripada Muawiyah (karena Ali adalah termasuk di dalam orang-orang Islam permulaan, sedangkan Muawiyah memeluk Islam setelah penaklukan Mekah - pen). Kami tidak mengambil posisi menyangkut masalah ini kecuali untuk mengutip fakta-fakta sejarah seperti yang dipertunjukkan oleh mereka. Ali Kwh, yang telah disebut nabi "pintu gerbang menuju pengetahuanku", adalah sumber utama spiritualitas, seorang pria yang berprinsip, seorang ulama besar, seorang prajurit yang mulia, tetapi terjebak dalam badai politik yang dihasilkan oleh kekhalifahan Utsman RA dan pembunuhannya. Muawiyah adalah seorang administrator yang berhasil, seorang politisi hebat dan musuh yang harus diperhitungkan. Keduanya terbukti benar pada posisi mereka sampai akhir hidup mereka. Ali Kwh, sebagai Khalifah yang sah, menginginkan untuk menciptakan ketertiban pada urutan pertama dan kemudian menyelesaikan masalah-masalah lain negara termasuk pembunuhan Utsman RA. Ali Kwh tidak berhasil dalam usaha ini dan perjuangan telah memakan kekhalifahan dan pribadinya. Muawiyah menuntut qisas sebagai urutan pertama, sebelum ia menerima kekhalifahan Ali Kwh. 

Pada bagiannya, Ali Kwh memindahkan ibukota negara Islam dari Madinah ke Kufah (656) dan mengkonsolidasikan posisinya. Dia membawa 80.000 tentara untuk berbaris ke Suriah. Tentara ini sebagian besar terdiri dari orang Irak, dengan kontingen dari orang-orang Madinah dan Persia. Melihat badai berkumpul di cakrawala, beberapa sahabat terkemuka mencoba untuk mendamaikan. Abu Muslim Khorasani meyakinkan Muawiyah untuk menulis surat kepada Ali Kwh. Dalam suratnya, Muawiyah menawarkan untuk mengambil sumpah kesetiaan kepada Ali Kwh jika ia menyerahkan para pembunuh Utsman RA. Tetapi sekarang posisi telah mengeras di kedua belah pihak. Muawiyah tahu bahwa Ali Kwh secara politik terlalu lemah pada waktu itu untuk memenuhi permintaan ini. Ketika masalah ini diangkat sebelum pertemuan besar di masjid di Kufah, lebih dari 10.000 orang Irak mengangkat tangan mereka dan menyatakan bahwa masing-masing dari mereka adalah pembunuh Utsman RA. Utusan dari Suriah kembali dengan tangan kosong. 

Muawiyah, dengan tentara Suriahnya, adalah yang pertama bergerak menuju Irak dan menempati perairan Efrat dekat dataran Siffin. Ketika tentara Ali Kwh tiba di lokasi, mereka tidak mendapatkan air. Ali Kwh segera memerintahkan orang-orang Suriah untuk diusir untuk mengontrol sumber air. Pertempuran Siffin telah dimulai. Ini adalah salah satu pertempuran paling berdarah di zaman itu. Selama tiga bulan, orang-orang Suriah dan Irak berhadapan satu sama lain dengan penuh amarah, yakin bahwa posisi masing-masing adalah benar. Lebih dari 40.000 orang kehilangan nyawa mereka. Begitu besarnya pertumpahan darah sehingga banyak orang di kedua belah pihak bertanya-tanya apakah umat Islam akan bertahan jika pembantaian ini terus berlanjut. 

Dalam waktu yang lama, pertempuran menemukan jalan buntu dengan tidak ada pihak yang memperoleh keuntungan yang menentukan. Tetapi pada malam Laitul-Harir (Malam Pertempuran), para pendukung Ali Kwh menyerang dengan kekuatan yang menentukan, sehingga orang Suriah menyadari bahwa mereka berada di ambang kekalahan. Di sinilah Muawiyah memainkan satu tipu muslihat lagi. Setelah saran dari Amr bin al As, kepada siapa Muawiyah telah menjanjikan gubernur Mesir, orang-orang Suriah mengangkat salinan Alquran dengan tombak mereka dan menyatakan bahwa mereka akan menerima Hakam (arbitrase) dari Al-Qur'an antara pihak yang bersengketa. Ali Kwh melihat bahwa ini hanyalah sebuah tipuan, tetapi tidak berdaya dalam menghadapi permintaan dari kedua belah pihak. 

Ini adalah satu lagi keputusan naas bagi  Khalifah Ali Kwh. Penerimaan arbitrase (penengah sengketa - pen) menegaskan Muawiyah sebagai pesaing kekuasaan yang sah dengan Ali Kwh. Kedua belah pihak membentuk pengadilan dua orang, satu dari masing-masing pihak, untuk memutuskan antara Muawiyah dan Ali Kwh. Abu Musa Asyari, seorang Sahabat tua yang shaleh dari Nabi, dipilih untuk mewakili Ali Kwh. Amr bin al As, seorang partisan yang ulung, adalah wakil untuk Muawiyah. 

Pada titik ini sebuah sekelompok dari tentara Ali Kwh berjalan pergi. Mereka disebut Al Khawarij (orang-orang yang berjalan pergi, juga disebut Kharijites). Kaum Khawarij marah karena dalam pandangan mereka, Khalifah Ali bin Abu Thalib Kwh telah melakukan syirik dengan menerima arbitrase orang-orang yang bertentangan dengan Hakam (arbitrase) dari Al Qur'an. Dan kecuali beliau bertobat, mereka bersumpah untuk menentang Ali Kwh. 

Ini adalah ilustrasi klasik tentang bagaimana transendensi dari wahyu ilahi dikompromikan, ketika orang-orang dengan pemahaman yang terbatas mengaplikasikannya dalam urusan duniawi. Kaum Khawarij mengemukakan dua ayat dari Al Qur'an dan menjustifikasi untuk perbuatan kejam mereka. Awalnya, mereka memaksa Ali Kwh untuk menerima arbitrase berdasarkan Ayat: "Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik" (Al Qur'an, 5:47). Kemudian mereka berjalan menjauh ketika pengadilan diselenggarakan, mendasarkan posisi mereka pada Ayat lain: "namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka." (Al Qur'an, 6:1). Ini adalah posisi mereka bahwa hanya Al-Qur'an lah penengah; penengah dari manusia tidak dapat diterima. 

Para arbiter memutuskan bahwa baik Ali Kwh maupun Muawiyah diminta untuk mengundurkan diri dan bahwa penggantian tersebut akan dipilih oleh umat. Ketika tiba waktunya untuk membuat pengumuman ke publik, tipuan lain dimainkan Amr bin Al As. Abu Musa Asyari diminta untuk berbicara lebih dulu dan dia dengan yakinnya mengumumkan keputusan bersama. Tetapi ketika Amr bin al As berikutnya, ia mengubah cerita. "Wahai manusia, Anda telah mendengar keputusan Abu Musa. Dia telah melengserkan orangnya sendiri dan sekarang aku juga melengserkannya. Tetapi aku tidak akan melengserkan orangku sendiri Muawiyah. Dia adalah pewaris Amir ul Mukminin Utsman RA dan menginginkan qisas yang sesuai dengan hukum atas darahnya. Oleh karena itu, dia lebih berhak untuk mengambil kursi khalifah terakhir". Terjadi kekacauan di dalam pertemuan. Tuduhan melayang. Tetapi sudah terlambat. Ketika berita tentang episode ini sampai ke Ali Kwh, beliau sedih. Amr bin al As kembali ke Damaskus di mana Muawiyah mendeklarasikan sebagai Khalifah (658). Jadi itulah selama tahun 658-661, ada dua pusat kekhalifahan, satu di Kufah dan yang lainnya di Damaskus. 

Ketidakjujuran ini tidak dapat diterima oleh pengikut Ali Kwh dan perang dilanjutkan. Selama tiga tahun berbagai provinsi diperebutkan antara Muawiyah dan Ali Kwh, termasuk Madinah, Mekkah, Jazira, Anbar, Madain, Badya, Waqusa, Talbia, Qataqtana, Doumatul Jandal dan Tadammur. Pada akhirnya kedua belah pihak sepertinya telah lelah dan gencatan senjata dideklarasikan di tahun 660. Berdasarkan ketentuan, Ali Kwh mempertahankan kontrol atas Mekah, Madinah, Irak, Persia dan provinsi-provinsi di timur. Muawiyah mempertahankan kontrol atas Suriah dan Mesir. 

Perbatasan de-facto menetapkan kembali batas geopolitik bersejarah antara Byzantium dan Persia pada perbatasan Efrat. Sebagaimana akan kita lihat lagi dan lagi dalam eksposisi kita tentang sejarah Islam, batas ini kembali ditegaskan oleh banyak khalifah dan sultan, begitu banyaknya sehingga peristiwa historis dari Persia, Asia Tengah, India dan Pakistan hari ini secara signifikan berbeda dengan peristiwa historis dari Suriah, Yordania, Lebanon, Mesir dan Afrika Utara. Suriah dan Mesir tidak menerima kekhalifahan Ali Kwh sampai periode Abbasiyah (750), sedangkan Ali Kwh adalah Khalifah sepanjang masa, "Singa Allah", guru dan mentor untuk orang-orang Persia dan Muslim Persia di timur. 

Kaum Khawarij tidak mau meninggalkan Ali Kwh. Mereka berusaha untuk mengubah status quo melalui pembantaian, pembunuhan dan aniaya dan memutuskan untuk secara serentak membunuh Ali Kwh, Muawiyah dan Amr bin al As, menyalahkan ketiganya atas perang saudara. Seperti sudah ditakdirkan, pembunuhan atas Ali Kwh berhasil dilakukan. Muawiyah lolos dengan luka ringan. Amr bin al As tidak muncul untuk shalat pada hari ia akan dibunuh dan wakilnya tewas di tempatnya. Ali bin Abu Thalib Kwh, Khalifah Islam Keempat dan yang terakhir dalam garis orang-orang terkenal yang berjuang untuk memerintah sesuai dengan Sunnah Nabi, meninggal pada tanggal 20 Ramadhan, pada tahun 661. 

Badai yang diciptakan oleh pembunuhan Utsman bin Affan RA menghancurkan kesatuan dalam umat Islam. Ali bin Abu Thalib Kwh mencoba untuk mengendalikan kapal negara di perairan badai, dalam upaya itu, ia sendiri menjadi korban. Disebutkan bahwa ia dimakamkan di Kufah. Tetapi penelitian yang teliti dari sejarah mengungkapkan bahwa makamnya tidak diketahui. Ia mungkin di Kufah, atau di padang pasir, atau jenazahnya mungkin telah dikirim ke Madinah untuk dimakamkan agar kaum Khawarij tidak menghancurkannya. Penghargaan abadi yang diberikan oleh sejarah kepada orang besar ini adalah bahwa semua umat Islam, apakah mereka menyebut diri mereka Syiah atau Sunni, Zaidi atau Fatimiyah, menerima beliau sebagai Khalifah Islam. Dia adalah Qutub, kutub rohani bagi para Sufi. Dia adalah seorang orator yang sempurna, sebuah menara ketabahan, tiang keberanian, air terjun spiritualitas. Dia adalah pencetus tata bahasa Arab klasik. Nabi memanggilnya, "saudaraku... pintu gerbang pengetahuanku". Kata-kata bijaksananya, dikumpulkan di bawah judul Nahjul Balaga, memiliki daya tarik universal dan global. Tidak ada orang lain di dalam sejarah Islam dianugerahi kehormatan ini.





Disumbangkan oleh Prof. Dr. Nazeer Ahmed, PhD

Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com

0 komentar: