Kamis, 05 Januari 2012

Aurat wanita muslimah di depan wanita yang lain

Bismillaah..

mawarku
sumber: blogspot.com
Walhamdulillaah.. sebagian wanita muslimah kini mulai banyak yang menyadari akan perintah Alloh dalam berhijab di hadapan laki-laki ajnabi. Namun, ternyata masih ada segelintir darinya (sudah berhijab di hadapan ajnabi) yang mungkin belum tahu akan batasan aurat wanita di hadapan wanita lain. Di dalam rumahnya, yang di dalamnya terdapat wanita ajnabiyyah masih menggunakan pakaian di atas lutut dan yang semisalnya. Dengan nama Alloh, tulisan ini ku persembahkan untuk saudari-saudariku yang semoga Alloh selalu memberikan hidayah dan lindungannya dari segala bentuk fitnah dan keburukan. Amiin.
Di bawah ini, fatwa mengenai batasan aurat antar sesama wanita oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullâh.
Apa batasan aurat seorang wanita di hadapan sesama wanita muslimah, wanita fajirah dan kâfirah?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullâh memfatwakan: “Aurat wanita di hadapan sesama wanita tidaklah berbeda karena perbedaan agama. Sehingga aurat wanita dengan wanita muslimah sama dengan aurat wanita kafirah, dan aurat dengan wanita yang ‘afîfah (menjaga kehormatan diri) sama dengan aurat wanita fajirah. Kecuali bila di sana ada sebab lain yang mengharuskan untuk lebih menjaga diri. Akan tetapi wajib kita ketahui bahwa aurat itu bukan diukur dari pakaian, karena yang namanya pakaian itu harus menutupi tubuh. Walaupun aurat wanita dengan sesama wanita adalah antara pusar dan lutut, akan tetapi pakaian itu satu perkara sedangkan aurat perkara lain. Seandainya ada seorang wanita mengenakan pakain yang menutup tubuhnya dengan baik/rapi kemudian tampak dadanya atau kedua buah dadanya karena satu dan lain hal di hadapan wanita lain[1], sementara dia telah mengenakan pakaian yang menutupi tubuhnya dengan baik, maka hal ini tidak apa-apa. Adapun bila ia mengenakan pakaian pendek yang hanya menutupi pusar sampai ke lututnya dengan alasan aurat wanita dengan sesama wanita adalah dari pusar ke lutut maka hal ini tidak boleh, dan aku tidak yakin ada orang yang berpandangan demikian.”
(Majmu’ah As’ilah Tuhimmul Usratil Muslimah, hal. 83-84)
[1] Karena menyusui bayinya misalnya (pen).
sumber: Majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 17/1426H/2005, kategori: Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 72. dengan sedikit perubahan tanpa menghilangkan makna.

0 komentar: