A. Adzan
1. Hukum adzan.
Tiga Madzhab selain madzhab Hanbali sepakat bahwa adzan hukumnya sunah, sementara madzhab Hanbali berpendapat adzan hukumnya fardlu kifayah. (Al-fiqhu alal-madzhabil arba’ah, abdurrahman al-Jaziri, bab Adzan).
2. Fungsi adzan.
Muhammadiyah: ”Sebagai panggilan untuk shalat.”
a) Shalat wajib.
Berdasar hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud kitab Shalat bab Bad’ul Adzan hadis ke 421. Hadis ini juga terdapat dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah:120 hadis ke2.
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ قَالَ لَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاقُوسِ يُعْمَلُ لِيُضْرَبَ بِهِ لِلنَّاسِ لِجَمْعِ الصَّلَاةِ طَافَ بِي وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوسًا فِي يَدِهِ فَقُلْتُ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَتَبِيعُ النَّاقُوسَ قَالَ وَمَا تَصْنَعُ بِهِ فَقُلْتُ نَدْعُو بِهِ إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ أَفَلَا أَدُلُّكَ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكَ فَقُلْتُ لَهُ بَلَى قَالَ فَقَالَ تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ عَنِّي غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ قَالَ وَتَقُولُ إِذَا أَقَمْتَ الصَّلَاةَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا رَأَيْتُ فَقَالَ إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ فَقُمْتُ مَعَ بِلَالٍ فَجَعَلْتُ أُلْقِيهِ عَلَيْهِ وَيُؤَذِّنُ بِهِ ...الخ
b) Shalat gerhana.
Redaksi adzan untuk shalat gerhana berbeda dengan adzan untuk shalat fardlu.
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِهْرَانَ الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ أَبُو عَمْرٍو وَغَيْرُهُ سَمِعْتُ ابْنَ شِهَابٍ الزُّهْرِيَّ يُخْبِرُ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ الشَّمْسَ خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ مُنَادِيًا الصَّلَاةُ جَامِعَةٌ فَاجْتَمَعُوا وَتَقَدَّمَ فَكَبَّرَ وَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, Kutubuttis’ah hadis ke 1501.
Sebagian Orang/ kelompok yang memfungsikan adzan untuk selain panggilan shalat?
a. Adzan pada jenazah saat pemakaman.
Sebagian orang ada yang mengamalkan adzan untuk jenazah saat pemakaman dengan berdasar sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud:
قال رسول الله صلى الله عليه و آله وسلّم لا يزال الميت يسمع الأذان مالم يطيّن قبره
Rasulullah saw. Bersabda: “Mayit senantiasa mendengar adzan selama kuburnya belum ditutupi tanah”
Hadist ini Maudlu’ (Palsu) karena dalam sanadnya ada Rawi yang bernama al-Hasan yang tidak pernah mendengarnya dari Ibnu Mas’ud, kemudian ada juga Rawi yang bernama Abu Muqatiil, Ibnu Mahdiy mengatakan “Haram meriwayatkan Hadis dari Abu Muqatiil karena dia seorang pemalsu hadis”
b. Adzan untuk bayi yang baru dilahirkan.
Dalil – dalil yang dijadikan argumen mengadzani bayi yang baru lahir adalah:
من ولد له مولود فأذّن في أذنه اليمنى واقام في أذنه اليسرى لم تضرّه أم الصبيان
Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Sunniy dalam kitab A’malul Yaumi wa Lailah, juga Ibnu Asyakir meriwayatkan dari jalan Abu Ya’la dan Ibnu Musyran. Sementara Syaikh Muhammad Nashirudin Al-baniy mengatakan sanad hadis ini Maudlu’ (Palsu).
قال أبو رافع رضى الله عنه : رايت رسول الله صلى الله عليه و آله وسلم أذّن في أذن الحسن بن عليّ حين ولدته فاطمة رضى الله عنها
Abu Rafi’ berkata “Aku melihat rasulullah saw. Adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika ia baru lahir. (HR. Tirmidzy)
Hadist ini Dha’if, dan Syaikh Nashirudin Al-baniy mengatakan sanad hadist ini sangat dha’if. (A. Yazid Qasim koho, Himpunan Hadist Lemah dan palsu, Bina Ilmu, Surabaya 1977.).
c. Adzan dapat menolak angin/dingin.
ما من مدينة يكثر أذانها الا قلّ بردها
Tidaklah suatu kota yang banyak adzanya melainkan sedikit dinginya
Hadis ini maudhu/ palsu, riawayat senada juga terdapat dalam kitab al-Maqaasidul khasanah diriwayatkan oleh Ad-Dailaamy tetapi sanadnya terputus.
3. Menjawab adzan.
Jawaban adzan sesuai dengan apa yang diucapkan Mu’adzin
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
Dari Abu Said Al-khudri bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda “Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan ileh Mu’adzin”
Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab As-Shalat bab Istihbabul qouli mistlil qoulil mu’adzin liman sami’ahu hadist ke 576.
kecuali pada lafaz حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ dan حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ. Dijawab dengan ucapan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ Dengan dalil:
عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ فَقَالَ أَحَدُكُمْ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Dari Hafs bin ‘Ashim bin umar bin Al-Khatab bahwasanya kakeknya berkata: Rasulullah saw bersabda “Apabila Mu’adzin mengucapkan ‘Allahu akbar – Allahu akbar’ maka kalian ucapkan ‘Allahu akbar – Allahu akbar’ kemudian jika ia (Mu’adzin) mengucapkan ‘Asyhadu anlaa Ilaha illAllah’ maka kalian ucapkan ‘Asyhadu anlaa Ilaha illAllah’ kemudian jika ia Mu’adzin) ucapkan ‘Asyhadu anna Muhammadan rasulullah’ maka kalian ucapkan ‘Muhammadan rasulullah’ kemudian jika ia (Mu’adzin) ucapkan ‘Hayya ‘alashshalah’ maka kalian ucapkan ‘Laa haula wa laa quwwata illa billah’ kemudian jika ia (Mu’adzin) mengucapkan ‘Hayya ‘alal falaah’ maka kalian ucapkan ‘Laa haula wa laa quwwata illa billah’ kemudian jika ia (Mu’adzin) mengucapkan ‘Allahu akbar – Allahu akbar’ maka kalian ucapkan ‘Allahu akbar – Allahu akbar’ kemudian jika ia (Mu’adzin) mengucapkan ‘Laa Ilaha illAllah’ maka kalian ucapkan ‘Laa Ilaha illAllah’ dengan hati, maka masuk syorga.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab As-Shalat bab Istihbabul qouli mistlil qoulil mu’adzin liman sami’ahu hadis ke 578. Dan banyak hadis senada yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya yang menjelaskan masalah ini, kemudian ada yang menambahkan kalimat”Illa billahil ’aliyyil ’adzim” tambahan ini tidak ada dalilnya. Imam Syafii, Maliki, dan Hanbali berpendapat menjawab adzan hukumnya sunah baik dalam keadaan suci maupun dalam keadaan junub, haid, atau nifas selama tidak sedang melakukan jimak atau sedang buang air. Imam Hanafi tidak membolehkan orang yang sedang haid atau nifas menjawab adzan. (Al-fiqhu alal-madzhabil arba’ah, abdurrahman al-Jaziri, bab Adzan). Sementara A. Qadir Hasan melalui pendekatan Ushulfiqh mengatakan ‘Wajib’ Kemudian timbul permasalahan pada jawaban lafaz as-Shalatul- khairuminnaum sebagian orang ada yang menjawab lafaz ini dengan ucapan shadakta wa bararta wa ana dzalika minas-syahidin. Insya Allah dengan segala keterbatasan kami akan menyampaikan sedikit pandangan kami sebagai berikut:
Menilik hadis-hadis tentang ucapan ketika mendengar adzan tidak ada satupun hadis yang menjelaskan secara khusus lafaz yang harus diucapkan ketika mendengar lafaz Tastwib, hadis-hadis tersebut hanya mengecualikan lafaz hayya ‘ala-shalahِ dan hayya ‘alal-falah. Sementara yang lainya dijawab dengan lafaz sama yang diucapkan oleh Muadzin, jadi menurut kami jawaban Tastwib dengan lafaz itu juga. Mengutip statement tokoh Tarjih Muhammadiyah Ust H. MS. Ibnu Djuremy terkait masalah ini ”Kalau mau dijawab ya jawab dengan kalimat itu, dan kalau tidak, ya diam saja. Karena memang tidak ada dalilnya”.
Dalil-dalil yang memerintahkan untuk menjawab adzan ditujukan kepada Mustami’ (orang yang mendengar) tidak ada dalil yang menyuruh Mu’adzin untuk menjawab adzanya sendiri dan jika ini terjadi namanya bukan menjawab melainkan mengulang lafaz adzan dan ini tidak disyari’atkan. WAllahul Muta’an, WAllahu A’lam bisshawaab
4. Bacaan sebelum dan sesudah adzan.
Tidak ada satu riwayatpun yang menyuruh Muadzin mengucapkan lafaz tertentu sebelum adzan seperti bacaan Hauqalah, tasbih, tahmied, shalawat atau yang lainnya yang berkembang di masyrakat. Adapun bacaan basmalah itu disunahkan secara umum untuk mengawali segala perbuatan yang baik bukan semata – mata adzan.
Sementara sesudah adzan sebagaimana pendirian Muhammadiyah melalui HPTnya kita (Mu’adzin maupun Mustami’unnida’)disyariatkan kita membaca doa
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Jabir bin Abdullah berkata bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda “Barang siapa yang ketika mendengar adzan mengucapkan ‘Allahumma Rabba...........wa’adttah’ niscaya akan mendapat syafa’atku pada hari kiamat
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Adzan bab Ad-Du’a inda an-Nida, hadis ke 579.
Ada sebagian orang yang menambah doa ini dengan lafaz:
و الشرف و الدرجة العالية الرّفيعة إنّك لا...الخ
Hadis tentang tambahan ini tidak ada asalnya. Karena hadis shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan yang lainya sama sekali tidak ada tambahan tersebut, As-Sakhaawy mengatakan “aku tidak pernah dapati tambahan lafaz tersebut sama sekali”. Ada juga tambahan “Innaka laa tukhliful mii’ad” ini terdapat dalam sunan al-Baihaqi tetapi al-Albani mengatakan riwayat ini syad.
Syaikh Muhammad Abdussalam Khadr Asy Syaqiry dalam Assunan wa Mubtada’at al Muta’alliqah bi al Adzkar wa as Shalawat yang diterbitkan oleh “Dar al-Fikr” mengatakan penambahan kata “Wa darajatarrafi’ah” di tengah shalawat adalah bid’ah dan penambahan kalimat “Innaka la tukhliful mii’ad” di akhir shalawat tidak memiliki dasar hadis yang shahih, hanya menisbatkan kepada Uwais al-Qarni semata dan itu salah besar. Membaca shalawat yang dibuat-buat, ayat-ayat tertentu dengan redaksi atau susunan tertentu, syair atau semacamnya apalagi dengan jama’ah dan dikeraskan sama sekali tidak ada tuntunan dari Rasulullah saw. yang disunahkan adalah menirukan sebagaimana yang diucapkan Mua’adzin lalu membaca shalawat atau berdoa sesuai sabda dan tuntunan Rasulullah saw.
Disyari’atkan juga membaca shalawat/doa untuk Nabi saw.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Abdullah bin Amru bin Ash mendengar Rasulullah saw. Bersabda “Apabila mendengar seruan muadzin maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkanya lalu bershalawatlah untuku, sesungguhnya barang siapa yang bershalawat untuku satu kali maka Allah memberikan rahmat padanya sepuluh kali kemudian mintalah wasilah untuku karena sesungguhnya wasilah itu suatu kedudukan di syorga yang hanya diberikan kepada seorang hamba dan aku mengharap akulah hamba itu” diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shalat Kutubuttis’ah hadis ke 577 juga terdapat dalam (HPT: 125).
Masalah adab berdoa Allah swt. dalam al-Qur’an mensyari’atkan bagaimana tatakrama kita ketika berdoa kepadaNya, diantaranya dengan merendah diri dan rasa takut
اادعوا ربّكم تضرّعا و خفية انّه لا يحبّ المعتدين
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (al-A’raf [7] : 55)
واذكر ربّك في نفسك تضرّعا و خيفة و دون الجهر من القول بالغدوّ و الأصال ولا تكن من الغافلين
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (al-A’raaf [7] : 205)
قل ادعواالله اودعاالرحمن ايّا ما تدعوا فله الأسمآء الحسنى ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها وابتغ بين ذلك سبيلا
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu." (Al-Israa [17] : 110)
Ada juga beberapa ayat lain yang senada dengan ayat ini, kiranya ini cukup menjadi dalil bagi kita bahwasanya dalam berdoa ada tatakrama yang tidak boleh dilanggar yaitu dengan merendah diri, penuh rasa harap dan khawatir, tidak perlu mengeraskan suara apalagi sampai berteriak-teriak histeris hal yang seperti ini tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw.
5. Tatswib antara adzan awal dan adzan subuh.
Muhammadiyah telah membicarakan masalah tatswib pada Muktamar Tarjih di Klaten, tidak selesai kemudian dibicarakan lagi di Muktamar Tarjih Malang tahun 1989 yang menetapkan bacaan tersebut disyariatkan pada adzan awal. Berdasar hadis riwayat Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi kitab Al adzan Kutubuttis’ah hadis ke 638.
عَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ قَالَ كُنْتُ أُؤَذِّنُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُنْتُ أَقُولُ فِي أَذَانِ الْفَجْرِ الْأَوَّلِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ.....الحديث
Abu Mahdzurah berkata “Aku beradzan untuk Rasulullah saw. Dan pada saat adzan fajar yang pertama akumengucapkan ‘ash-Shalaatu khairun minan-naum’,’Alahu akbar Allahu akbar’, ‘laa Ilaha illAllah’...dst.
Sedangkan pada adzan shubuh kedua, keputusan Muktamar di palembang tahun 1956 tentang shalat jamaah dengan adzan shubuhnya menggunakan tatswib, ini didasarkan pada riwayat berikut:
عن ابي محذورة رضي الله عنه قال قلت يا رسول الله علّمني سنّة الأذان فعلّمه وقال فانكان صلاة الصبح قلت الصلاة خير من النوم
Abu Mahdzurah berkata “aku berkata kepada Rasulullah, Ajari aku tentang adzan” lalu Ralullah mengajarkanya padaku dan beliau bersabda “sedang kalau untuk shalat shubuh ucapkanlah ASHSHALAATU KHAIRUN MINANAUM” diriwayatkan oleh lima ahli hadis dan Ahmad.
Sementara PERSIS memiliki pendirian yang berbeda dengan Muhammadiyah PERSIS hanya mengamalkan Tatswib pada adzan awal saja tidak pada adzan kedua.
6. Waktu adzan.
a. Dikumandangkan setelah masuk (awal) waktu shalat.
عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا قَالَ ارْجِعُوا فَكُونُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Dari Malik bin Al Huwairits sesungguhnya Nabi saw. Bersabda “ Apabila waktu shalat telah tiba maka hendaklah salah seorang diantara kamu adzan untuk kalian dan hendaknya yang tertua diantara kamu menjadi imam” diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim hadis ini juga terdapat dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih hal.120 hadist ke1, kitab Nailul authar bab adzan dan Sunan Abu Daud hadis ke 592.
Para Ulama sepakat untuk adzan Dhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya’ harus dikumandangkan setelah masuk waktu shalat dan tidak shah adzan adzan yng dikumandangkan sebelum masuk waktu shalat. Sementara untuk adzan Shubuh ada perbedaan pandangan antara empat madzhab:
Madzhab Syafi’i : “Untuk shalat Shubuh disunahkan ada dua adzan pertama saat tengah malam dan yang kedua setelah terbit fajar.”
Madzhab Hanbali : “Adzan Shubuh dihukumi boleh sejak tengah malam tanpa harus mengulang adzan ketika waktu shubuh tiba kecuali bulan Ramadhan.”
Madzhab Maliki : “Dimandhubkan adzan Shubuh pada seperenam akhir dari malam untuk membangunkan orang yang masih tidur, kemudian diulangi setelah masuk waktu Shubuh untuk mengikuti sunah Rasulullah saw.”
Madzhab Hanafi : “Adzan yang dilaksanakan sebelum waktu shubuh juga tidak sah, menurut pandangan yang shahih hukumnya haram. Adapun hadist yang menjelaskan adzan Shubuh sebelum waktunya kami fahami sebagai membaca tasbih untuk membangunkan orang yang tidur.” (Al-fiqhu alal-madzhabil arba’ah, abdurrahman al-Jaziri, bab Adzan).
b. Adzan sebelum fajar.
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
Aisyah meriwayatkan dari Nabi saw. bahwasanya Bilal beradzan lalu orang-orang makan dan minum (waktu Sahur) sampai Ummi Muktum beradzan
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Adzan bab al-adzan qoblalfajri hadist ke 589.
c. Adzan dalam perjalanan/safar.
Boleh adzan dan iqamat untuk shalat dalam safar dan boleh iqamat saja tanpa adzan berdasar hadis yang bersumber dari Hisyam bin Urwah dalam Muwatha Imam Malik hadis ke 145 bab An-nida’u fii safari wa’alaa ghairi wudhu’in
و حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ أَنَّ أَبَاهُ قَالَ لَهُ إِذَا كُنْتَ فِي سَفَرٍ فَإِنْ شِئْتَ أَنْ تُؤَذِّنَ وَتُقِيمَ فَعَلْتَ وَإِنْ شِئْتَ فَأَقِمْ وَلَا تُؤَذِّنْ قَالَ يَحْيَى سَمِعْت قَوْله يَقُولُ لَا بَأْسَ أَنْ يُؤَذِّنَ الرَّجُلُ وَهُوَ رَاكِبٌ
Bersumber dari Hisyam bin Urwah bahwa ayahnya pernah berkata kepadanya: “Apabila engkau dalam perjalanan, engkau boleh beradzan dan sekaligus iqamat. Dan boleh juga hanya iqamat tanpa adzan” Yahya berkata: Aku pernah mendengar Malik berkata “Tidak apa – apa seseorang beradzan sambil menunggang kendaraanya”
d. Adzan di tempat sepi/ untuk sendiri.
Disyari’atkan adzan meskipun tidak ada penghuni di tempat tersebut dan hanya ada satu orang (sendiri) terdapat dalam Sunan Tirmidzi dalam Kutubuttis’ah hadis ke 660
عن مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ أَبَا عُشَّانَةَ الْمَعَافِرِيَّ حَدَّثَهُ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَعْجَبُ رَبُّكَ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةِ الْجَبَلِ يُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ وَيُصَلِّي فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ وَيُقِيمُ الصَّلَاةَ يَخَافُ مِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ
Dari Uqbah bin Amir berkata “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda bahwa Rabbmu kagum kepada penggembala kambing di puncak bukit yang adzan kemudian ia shalat, Allah swt. berfirman “Lihatlah hambaku, dia adzan lalu shalat dia takut pada-Ku sungguh Aku mengampuninya dan memasukanya ke dalam syurga”
Juga hadis yang bersumber dari Abdurrahman dalam Muwatha Imam Malik bab Maa ja’a fii nida’isshalah hadis ke 138. dan Shahih Bukhari Kutubuttis’ah kitab Adzan hadis ke574.
عَنْ مَالِك عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ الْأَنْصَارِيِّ ثُمَّ الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ لَهُ إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الْغَنَمَ وَالْبَادِيَةَ فَإِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ أَوْ بَادِيَتِكَ فَأَذَّنْتَ بِالصَّلَاةِ فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Sha’sha’ah al-Anshari Al Mazini dari ayahnya menceritakan bahwa Abu Sa’id Al khudri pernah berkata kepadanya: “Aku lihat kamu suka kepada kambing dan gurun. Apabila engkau berada di antara kambing dan gurunmu, lalu engkau beradzan untuk shalat maka keraskanlah suaramu karena disepanjang suara Mu’adzin dapat didengar jin, manusia atau apapun yang mendengarnya pasti akan menjadi saksinya kelak di hari kiamat” Abu Sa’id menambahkan “ Aku mendengarnya dari Rasulullah saw.”
7. Mu’adzin.
- Mengeraskan suara dan menutup telinga dengan jari.
اَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِلَالًا أَنْ يَجْعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ وَقَالَ إِنَّهُ أَرْفَعُ لِصَوْتِكَ
Bahwasanya Rasulullah saw. Memerintahkan kepada Bilal agar meletakan dua jarinya pada telinganya dan Ia (Rasulullah saw.) bersabda “sesungguhnya yang demikian itu lebih meninggikan suaramua”
Riwayat Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah kitab al-Adzan wa as-Sunnatu fiihi hadis ke 702.
- Memutar leher ke kanan dan ke kiri.
Dalam syarah Nailul Authar bab ’Muadzin meletakan jari ke dalam telinga dan memutar leher ketika membaca ”Hayya ’alatain” bahwa riwayat tentang memutar leher berbeda-beda ada yang mengatakan Bilal memutar lehernya dan ada yang mengatakan Bilal tidak berputar. Menurut al-Hafiz Ibnu Hajar yang dimaksud riwayat yang mengatakan berputar adalah memutar leher, sedang riwayat yang mengatakan tidak berputar maksudnya tidak memutar seluruh badan. Selanjutnya Syarih Nailul Authar mengatakan hadis tentang memutar leher hanya diriwayatkan dari dua jalan yaitu Hajaj dan Idris A-Audi dan kedua rawi tersebut lemah/ dha’if.
- Wudhu sebelum adzan dan Mu’adzin menghadap kiblat.
Dalam kitab Al-fiqhu alal-madzhabil arba’ah karya Abdurrahman al-Jaziri, bab Adzan di katakan Muadzin hendaknya suci dari hadats besar dan kecil serta menghadap kiblat kecuali jika diperlukan untuk memperdengarkan kepada penduduk yang yang tidak bisa mendengar adzan apabila Muadzin menghadap kiblat. Artinya berwudlu dan menghadap kiblat bukan merupakan keharusan.
- Wanita adzan.
Tiga Imam madzhab selain Malikiyah sepakat bahwa Mu’adzin harus laki-laki jadi tidak sah wanita atau banci adzan, sementara Malikiyah berpandangan bahwa untuk menerima berita masuknya waktu shalat harus dari orang Islam yang adil sekalipun itu wanita jadi adzanya seorang wanita tetap sah. A. Hasan dalam soal jawabnya mengatakan tidak ada larangan wanita manjadi Mu’adzin tetapi perlu diketahui bahwa suara wanita termasuk aurat yang harus dijaga dan tidak boleh diumbar. Kami melihat hadis-hadis tentang adzan semua Mu’adzin itu laki-laki dan perintah adzan itupun Rasulullah saw. tujukan kepada laki-laki jadi menurut syariat tidak ada contohnya wanita menjadi Mu’adzin. Lain halnya jika dalam keadaan darurat misalnya dalam satu komunitas masyarakat tidak ada satupun laki-laki sehingga kalau wanita tidak adzan maka tidak ada yang adzan sama sekali dan masyarakat tidak tahu kapan masuknya waktu shalat.
e. Adzan jamaah
عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا قَالَ ارْجِعُوا فَكُونُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Dari Malik bin al-Huwairits sesungguhnya Nabi saw. Bersabda “Apabila waktu shalat telah tiba maka hendaklah salah seorang diantara kamu adzan untuk kalian dan hendaknya yang tertua diantara kamu menjadi imam” di riwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim hadis ini juga terdapat dalam kitab Nailul authar bab adzan dan Sunan Abu Daud hadis ke 592.
Dari hadis ini jelas bahwa Rasulullah menyuruh satu orang untuk adzan, juda pada hadis yang terdapat point adzan Jum’at (selanjutnya) dikatakan bahwa “….Dan Nabi saw. Tidak mempunyai Mu’adzin kecuali satu” menunjukan bahwa Muadzin cukup dengan satu orang dan memang adzan dengan berjama’ah itu tidak kami temukan riwayat/hadis yang mencontohkanya.
f. Melagukan adzan.
Melagukan adzan seperti yang terjadi dewasa ini tidak ada ketetapanya dalam syari’at, berikut pandangan para imam madzhab:
Imam Syafi’i : ”Melagukan berarti berpindah dari lagu yang satu ke lagu yang lain, yang sunah adalah melangsungkan adzan dalam satu lagu / irama.”
Imam Hanbali : ”Melagukan atau mengiramakan adzan adalah makruh.”
Imam Hanafi : ”Melagukan itu baik selama tidak merubah huruf atau harokat, tapi kalau sudah membawa perubahan kalimat baik itu huruf maupun bertambahnya harakat maka hukumnya haram dan tidak halal mendengarnya.”
Imam Malik : ”Makruh melagukan adzan, lebih-lebih jika semata-mata mengikuti adat kebiasaan maka hukumnya haram.” (Al-fiqhu alal-madzhabil arba’ah, abdurrahman al-Jaziri, bab Adzan).
- Adzan dengan kaset, radio atau semacamnya.
Muhammadiyah berpandangan penggunaan kaset, radio, dan yang sejenisnya kalau untuk hal-hal yang berhubungan dengan mu’amalah tidak menjadi masalah, sementara adzan itu termasuk hal yang terkait dengan ibadah mahdah. (Tim PP Muhammadiyah Majelis tarjih, Tanya Jawab Agama 3: 43.)
Adzan hendaknya dilakukan langsung oleh orang sendiri, karena Nabi saw. Memberi rangsangan dengan maghfirah dari Allah swt. Abu Hurairah menerangkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Pada Mu’adzin diampunkan dosanya menurut ukuran sampai suaranya dan disaksikan baginya oleh segala yang basah dan yang kering.” (Tim PP Muhammadiyah Majelis tarjih, Tanya Jawab Agama 2: 84.)
Sementara A. Hassan dalam Soal Jawabnya mengatakan tidak masalah adzan dengan kaset, radio atau yang sejenisnya karena untuk masalah ini tidak diatur oleh syariat.
8. Adzan Ketika Hujan.
Disunahkan ketika hujan mengganti lafaz حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ dengan lafaz أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ atau صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ atau صلوا في بيوتكم
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ ذَاتُ بَرْدٍ وَمَطَرٍ يَقُولُ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ
Diriwayatkan oleh Bukhari, kutubuttis’ah hadist ke 636.
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ يَقُولُ أَنْبَأَنَا رَجُلٌ مِنْ ثَقِيفٍ أَنَّهُ سَمِعَ مُنَادِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ فِي السَّفَرِ يَقُولُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
Diriwayatkan oleh Nasa’i dalam sunanya, Kutubuttis’ah hadis ke 647.
ان ابن عباس قال لمؤذنه في يوم مطير اذا قلت اشهد ان لا اله الا الله و اشهد ان محمدا رسول الله فلا تقل حي على الصلاة قل صلوا في بيوتكم قال فكأن الاس استنكروا ذلك فقال اتعجبون من ذا؟ قد فعل من هو خير مني يعني النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Ibnu Abbas mengatakan kepada Mu’adzinya “apabila kamu telah mengucapkan ‘Asyhadu….. maka jangan kamu ucapkan ‘Hayya ‘alashshalah’ tetapi ucapkanlah ‘Shalluu fii buyuutikum’, beliau berkata seolah-olah orang-orang mengingkari hal ini lalu beliau berkata “Herankah kalian dengan hal ini? Sungguh telah melakukan hal ini orang yang lebih baik dariku yaitu Rasulullah saw. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam Syarah Muslim Imam Nawawi mengatakan “di dalam hadis Ibnu Abbas hendaklah Mu’adzin mengucapkanya ketika di tengah adzan sedangkan hadis Ibnu Umar menunjukan bahwa beliau mengucapkanya setelah selesai adzan.” Imam syafi’i dalam kitab Al-Umm menyatakan kedua-duanya boleh dan ini diikuti madzhab kami. Maka boleh mengucapkan kalimat itu setelah atau di tengah adzan karena kedua-duanya sah dalam sunah. Akan tetapi mengucapkanya setelah adzan lebih bagus supaya tidak mengubah alunan adzan yang dikumandangkan” (Fiqh al-Jam’i baina ash-Shalataini fii Hadhar bi udzril mathar, Syaikh masyhur bin Hasan Alu Salman: 267-268).
9. Adzan Jum’at.
Di masa Rasulullah saw., Abu Bakar, dan masa Umar bin al-Khatab adzan jum’at hanya satu kali yaitu setelah imam naik ke mimbar hal ini dijelaskan dalam riwayat berikut:
عن السائب بن يزيد قال كان النداء يوم الجمعة اوّله اذا جلس الإمام على المنبر على عهد رسول الله صلى الله عليه وآله و سلم و أبي بكر و عمر فلمّا كانعثمان وكثر الناس زاد النداء الثالث على الزوراء و لم يكن للنبي صلى الله عليه وآله و سلم مؤذن غير واحد
Dari Saib bin Yazid, ia berkata “Adzan pada hari jum’at pada awalnya apabila Imam telah duduk di atas mimbar. Demikian dilakukan di masa Rasulullah saw., masa Abu bakar, dan di masa Umar. Di masa (khalifah) Ustman dan telah banyak manusia beliau menambah adzan yang ketiga di atas Zaura. Dan Nabi saw. Tidak mempunyai Mu’adzin kecuali satu” Diriwayatkan oleh Bukhari, An Nasai, dan Abu Daud.
Adzan yang ‘ketiga’ maksudnya menambah satu adzan lagi sehingga menjadi tiga adzan yaitu dua adzan dan satu iqamat. (Tanya Jawab 2 Agama Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih: 85.) dari riwayat tersebut jelas bahwa adzan yang diajarkan oleh Rasulullah untuk shalat jum’at hanya sekali ketika Imam sudah naik ke mimbar sementara adzan dua kali lebih-lebih ditambah dengan bacaan hadis di antara dua adzan tersebut tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw.
Dalam Assunan wa Mubtada’at al Muta’alliqah bi al Adzkar wa as Shalawat yang diterbitkan oleh “Dar al-Fikr” dijelaskan Pembacaan hadis ‘apabila khatib…dst’ sebelum adzan jum’at seperti yang berkembang dewasa ini adalah bid’ah karena yang berhak memberi nasihat hanya khatib saat itu.
B. Iqamat.
1. Lafaz iqamah.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ أُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَأَنْ يُوتِرَ الْإِقَامَةَ إِلَّا الْإِقَامَةَ
Dari Annas ia berkata ”Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah kecuali al iqamah (lafaz qad qaamatisshalaah)” diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab shalat Kutubuttis’ah hadis ke 570. juga dalam Shahih Muslim hadis ke 571.
Adapun lafaz iqamah tersebut sebagaimana hadis terdahulu pada point dua (Fungsi adzan) sebagai berikut.
....اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ....
2. Menjawab iqamah.
Ada sebuah hadis yang menceritakan tentang menjawab iqomah
...انّ بلالا اخذ في القامة فلمّا ان قال قدقامة الصلاة قال البي صلى الله عليه وآله و سلم اقامها الله و ادمها
Sesungguhnya Bilal pernah iqamah maka ketika dia mengucapkan ‘Qad qaamatisshalaah’ Nabi saw. Mengucapkan ‘QaamahAllahu wa adaamaha’.
Tidak kami temukan hadis yang lain menyatakan masalah ini begitu juga A. Hasan mengatakan dalam tanya jawabnya tidak ada hadis lain melainkan itu saja hanya kalau ada riwayat atau ungkapan lain tentang menjawab iqamah berarti itu suatu yang diada – adakan (bid’ah). Kemudian berdasarkan penelitian ternyata hadis inipun lemah/dhaif karena dalam sanadnya ada seorang yang majhul dan seorang yang lemah, A. Yazid pun memasukkan hadis ini dalam bukunya Himpunan hadis-hadis lemah dan palsu.
3. Adzan dan iqamah satu orang?
عن زياد بن الحارث الصدائي قال قال رسول الله صلى الله عليه وآله و سلم يا اخا صداء اذّن فأذنت و ذالك حين اضاء الفجر قال فلما توضأ رسول الله صلى الله عليه وآله و سلم قام الى صلاة فاراد بلال ان يقيم فقال رسول الله صلى الله عليه وآله و سلم يقيم اخو صداء فانّ من اذن فهو يقيم
Ziyad bin al-Harits ash-Shuda’iy berkata: Rasulullah saw. Bersabda ”Hai saudaraku Shuda adzanlah!” ia berkata ”lalu aku adzan” ketika fajar sudah bersinar ia berkata: kemudian tatkala Rasulullah saw. berwudlu kemudian berdiri hendak shalat tiba-tiba Bilal berkehendak iqamat lalu Rasululla saw. Bersabda ”Hendaklah saudaraku Shada yang iqamat karena siapa yang adzan dialah yang iqamat.” diriwayatkan oleh imam lima kecuali Nasa’i sedangkan lafadz hadis ini bagi Imam Ahmad.
Dari hadis di atas jelas bahwa adzan dan iqamat dilakukan oleh satu orang namun para ahli ilmu sepakat bahwa jika yang iqamat bukan dia yang adzan boleh saja, berpegang pada hadis Abdullah bin Zaid
عن عبدالله بن زيد أنه اري الأذان قال فجئت الى النبي صلى الله عليه وآله و سلم فاخبرته فقال القه على بلال فالقيته فاذّن فاراد ان يقيم فقلت يا رسول الله انا رايت اريد ان اقيم قال فاقم انت فاقم هو و اذن بلال
Sesungguhnya Abdullah bin Zaid bermimpi adzan. Ia berkata:” lalu aku pergi ke tempat Nabi saw. untuk menceritakan hal itu. Kemudian Nabi saw bersabda “Sampaikanlah hal itu kepada Bilal” lalu aku sampaikan kepadanya. Kemudian Bilal adzan. Kemudian ketika ia hendak iqamat aku berkata “Ya Rasulullah aku mimpi hendak iqamat” lalu Nabi saw. manjawab ”kalau begitu qamatlah.!” kemudian Abdullah iqamat sedang Bilal adzan. (HR. Ahmad).
Namun mereka berbeda pandangan mengenai mana yang lebih utama, sebagian besar mengatakan tidak ada bedanya. Berpegang pada riwayat Ziyad bin al-Harits Ashadai lebih utama karena hadis Abdullah bin Zaid terjadi pada permulaan disyari’atkanya adzan sedang hadis Ziyad bin Al Harits terjadi sesudahnya.
0 komentar:
Posting Komentar