Prolog
Ilmu tafsir Al-Qur`an adalah ilmu yang mulia. Bahkan sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa ilmu ini adalah disiplin ilmu yang paling mulia secara mutlak. Menurut mereka, mulia dan urgensi suatu ilmu itu tergantung apa yang dibahas. Karena yang dibahas dalam ilmu tafsir adalah Al-Qur`an, dimana ia adalah kitab yang paling mulia, maka ilmu tafsir menjadi ilmu yang paling mulia dikarenakan kemuliaan Al-Qur`an.
Namun demikian, tidak semua orang bisa dan boleh menafsirkan Al-Qur`an semaunya. Ada rambu-rambu tertentu yang harus dipatuhi oleh seseorang jika dia hendak menafsirkan Al-Qur`an. Rambu-rambu inilah yang disebut sebagai kaidah tafsir.
Satu hal yang menjadi catatan di sini, bahwasanya tidak ada kesepakatan di antara para ulama dalam menentukan apa saja kaidah-kaidah yang harus dipenuhi oleh seorang –calon– mufasir, terutama dari sisi prioritas dan jumlahnya. Bahkan, dalam membahas kaidah tafsir, sebagian ulama memasukkan syarat-syarat seorang mufasir di dalamnya. Padahal, jelas berbeda antara kaidah tafsir yang lebih fokus pada obyeknya, dengan syarat-syarat mufasir yang lebih tertuju pada subyeknya. Namun demikian, karena dalam hal ini antara subyek dan obyeknya saling berkaitan erat, maka terkadang pembauran pembahasan ini tidak bisa dihindari.
Kesimpulan kami, sesungguhnya inti dari semua kaidah ini adalah; hendaknya seorang mufasir harus menguasai semua tema yang dipelajari dalam ‘ulumul Qur`an (ilmu-ilmu Al-Qur`an), meskipun ada juga ulama yang membedakan antara kaidah tafsir dan ulumul Qur`an. Lebih tepat jika dikatakan, bahwa para ulama memasukkan bahasan kaidah tafsir dalam bagian dari ulumul Qur`an.
Definisi Kaidah Tafsir
Dari segi etimologi, kaidah (القاعدة) yaitu aturan, undang-undang, dan fondasi. Ia adalah sesuatu yang di atasnya didirikan bangunan tertentu. Atau, bisa juga disebut sebagai penopang.
Sedangkan secara terminologi, kaidah adalah rumusan asas yang menjadi hukum atau aturan yang sudah pasti yang dijadikan sebagai patokan. Asy-Syarif Al-Jurjani (w. 816 H) mengistilahkannya dengan,
قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهَا .
“Hukum yang komprehensif yang diaplikasikan atas seluruh partikelnya.”
Adapun yang dimaksud dengan kaidah tafsir di sini, yaitu sejumlah aturan tertentu yang komprehensif yang bisa mengantarkan seseorang dalam memahami makna dan hukum-hukum Al-Qur`an serta menafsirkannya diiringi kemampuan untuk mempreferensikan saat terdapat ikthtilaf di dalamnya.
Kaidah Pertama; Sesuai dengan Kaidah Bahasa Arab
Karena Al-Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab, menafsirkan Al-Qur`an harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Tidak boleh ada ayat atau kalimat yang penafsirannya menyalahi kaidah bahasa Arab yang baku dan berlaku. Untuk itu, seorang mufasir harus menguasai bahasa Arab dengan baik. Mujahid bin Jabr (w. 103 H) berkata, “Seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh berbicara tentang Kitab Allah jika dia tidak menguasai dengan baik bahasa-bahasa yang digunakan bangsa Arab.”
Selain itu, dia harus menguasai ilmu nahwu, sharaf, isytiqaq, ma’ani, bayan, dan badi’. Dengan ilmu nahwu (grammar), seorang mufasir bisa mengetahui makna yang berganti dan berubah dikarenakan perbedaan i’rab. Hasan Al-Bashri (w. 110 H) pernah ditanya tentang seseorang yang belajar bahasa Arab agar lebih bagus dalam bicara dan lebih baik bacaan Al-Qur`annya. Hasan berkata, “Itu bagus. Pelajarilah bahasa Arab. Sebab, orang yang membaca suatu ayat namun dia tidak mengerti cara membacanya, dia bisa celaka.”
Sementara dengan ilmu sharaf (morfologi), bisa diketahui asal kata dari suatu bentuk dan struktur kata. Ibnu Faris (w. 315 H) mengatakan, bahwa orang yang tidak menguasai ilmu sharaf akan kehilangan banyak hal, sekiranya dia mendapatkan kata-kata yang mubham (ambigu, unclear), dia akan kesulitan. Padahal, jika kata-kata tersebut ditashrifkan, maka akan jelaslah asal katanya.
Contoh sederhana dalam hal ini misalnya ayat,
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ . (الإسرآء : 71)
“Pada hari Kami memanggil setiap manusia dengan pemimpin mereka.” (QS. Israa`: 71)
Kata “imam” di sini adalah bentuk mufrad (single). Jamaknya (plural) adalah a`immah ( الأئمة ). Jika ada orang yang menyangka kata “imam” adalah bentuk jamak dari kata “umm” (ibu), maka penafsiran yang muncul pun akan kacau. Bisa dipastikan, orang tersebut tidak mengusai ilmu sharaf. Sebab, bentuk jamak dari kata “umm” adalah “ummahat,” bukan “imam.”
Adapun ilmu isytiqaq (derivasi), ia bermanfaat untuk mengetahui makna suatu kata dalam Al-Qur`an yang mempunyai dua derivasi berbeda. Sebab, jika ia berasal dari dua materi yang berbeda, maka berbeda pula maknanya. Seperti kata “al-masih” ( المسيح ), apakah ia berasal dari kata as-siyahah ( السياحة ) atau al-mashu ( المسح ).
Selanjutnya yaitu ilmu ma’ani (semantik), bayan (diction, uslub), dan badi’ (retorika). Syaikh Manna’ Al-Qaththan rahimahullah (w. 1999 M) berkata, “…Kemudian dari segi indahnya perkataan, yakni ilmu balaghah yang tiga macam: ma’ani, bayan, dan badi’. Ilmu ini termasuk modal dasar yang harus dimiliki seorang mufasir. Sebab, seorang mufasir harus memperhatikan kemukjizatan (miracle) yang terdapat pada suatu ayat yang tidak bisa dinalar kecuali dengan ilmu ini.”
Masih tentang kaidah bahasa, dalam menafsirkan Al-Qur`an juga harus diperhatikan masalah dhamir (pronoun), makrifat dan nakirah (definite noun dan indefinite noun), mufrad dan jama’, ‘athaf dan ma’thuf (konjungsi dan coupled, joined), dan lain-lain.
Kaidah Kedua; Menggabungkan Antara Riwayah dan Dirayah
Riwayah dan dirayah (knowledge) adalah dua istilah yang sering digunakan untuk memudahkan penyebutkan bagi hadits dan ra`yu, antara manqul dan ma’qul. Metode ini banyak digunakan oleh para ulama tafsir, seperti Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi (w. 671 H), Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H), dan Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (w. 1250 H), dan lain-lain, meski ada perbedaan penyajian di antara mereka.
Syaikh Prof. DR. Yusuf Al-Qaradhawi hafizhahullah berkata, “Yang pertama kali perlu diperhatikan dalam masalah ini adalah menggabungkan antara riwayah dan dirayah. Di antara para mufasir, ada yang manhajnya lebih memperhatikan masalah riwayat dan atsar, dan ada juga yang lebih memperhatikan pendapat dan analisa. Namun sesungguhnya metode yang paling baik adalah yang menggabungkan antara riwayah dan dirayah; menggabungkan antara manqul yang shahih dan ma’qul yang sharih (benar-benar jelas, transparan), serta menyelaraskan antara peninggalan ulama salaf dan kaum khalaf.”
Tentang dirayah dan riwayah ini, Imam Asy-Syaukani berkata, “Mayoritas mufasir terbagi dalam dua kelompok, dan masing-masing berjalan dengan dua cara. Kelompok pertama, yaitu mereka yang menafsirkan Al-Qur`an hanya dengan menggunakan riwayat (hadits) saja. Mereka merasa cukup dengan cara ini. Adapun kelompok kedua, yaitu mereka yang menafsirkan Al-Qur`an berdasarkan teori bahasa Arab dan ilmu-ilmu modern tanpa mau menengok sedikit pun pada imu riwayat. Dan kalaupun mereka menyebutkan sebuah hadits, mereka tidak menjadikannya sebagai landasan pendapatnya.”
Kaidah Ketiga; Mendahulukan Penafsiran Al-Qur`an dengan Al-Qur`an
Al-Qur`an Al-Karim adalah kalamullah, maka yang paling mengetahui maknanya adalah Allah sendiri. Dalam menafsirkan Al-Qur`an, sekiranya terdapat suatu ayat yang bisa menafsirkan ayat lain, maka ayat ini mesti didahulukan untuk menafsirkan ayat tersebut. Bagaimanapun, Al-Qur`an itu saling memebenarkan satu sama lain, dan saling menafsirkan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Allah SWT berfirman,
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا . (النسآء : 82)
“Apakah mereka tidak mau mentadabburi Al-Qur`an? Sekiranya Al-Qur`an itu berasal dari sisi selain Allah, niscaya mereka akan mendapatkan banyak perbedaan di dalamnya.” (QS. An-Nisaa`: 82)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) berkata, “Apabila ada orang bertanya; bagaimana cara terbaik dalam menafsirkan Al-Qur`an? Maka jawabnya adalah: Sesungguhnya cara yang paling benar dalam hal ini adalah menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Sebab, jika terdapat suatu ayat mujmal (global) di surat tertentu, sesungguhnya ada tafsirnya di tempat yang lain. Dan tidaklah terdapat ayat yang ringkas di suatu surat, melainkan dijelaskan panjang lebar pada surat yang lain.”
Teladan kita dalam hal ini adalah Rasulullah SAW. Beliaulah yang menyunnahkan dan mengajari kita untuk menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Ketika turun ayat,
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ . (الأنعام : 82)
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan keimanannya dengan suatu kezhaliman, mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan mereka mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)
… para sahabat RA merasa keberatan. Mereka terguncang hatinya dan takut. Sebab, secara tersurat ayat ini menyatakan bahwa orang yang imannya ternoda dengan suatu kezhaliman apa pun macamnya, dimana hal ini mencakup segala jenis maksiat dan dosa-dosa kecil, maka mereka bukan termasuk orang yang mendapatkan keamananan dan tidak mendapat petunjuk. Mereka pun mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, memangnya siapa di antara kami yang tidak menzhalimi dirinya?”
Maka, Nabi pun bersabda, “Itu bukan seperti yang kalian kira. Sesungguhnya yang dimaksud (kezhaliman di sini) adalah perbuatan syirik. Apa kalian tidak membaca perkataan seorang hamba yang shalih;
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ . (لقمان : 13)
‘Sesungguhnya perbuatan syirik adalah kezhaliman yang besar’.” (QS. Luqman: 13)
Contoh lain yang sederhana dalam hal ini adalah tafsir alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat lain yang mengisahkan dialog antara Nabi Musa AS dan Fir’aun,
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ . قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ (الشعراء : 23-24)
“Fir’aun berkata; Apa itu Tuhan semesta alam? Musa berkata; Tuhan langit-langit dan bumi, serta apa pun di antara keduanya, sekiranya kalian adalah orang-orang yang percaya.” (QS. Asy-Syu’araa`: 23-24)
Jadi, yang dimaksud dengan Tuhan semesta alam, adalah Tuhan yang menguasai tujuh langit dan bumi dan apa pun yang terdapat di antara keduanya.
Atau ayat ( صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ), ditafsirkan oleh ayat,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا . (النسآء : 69)
“Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu bersama orang-orang yang Allah beri nikmat pada mereka, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”(QS. An-Nisaa`: 69)
Kaidah Keempat; Menafsirkan Al-Qur`an dengan Sunnah
Jika suatu ayat tidak ada tafsirnya pada ayat lain, maka langkah berikutnya ialah menafsirkannya dengan Sunnah Rasulullah SAW yang shahih. Ibnu Taimiyah berkata, “Sekiranya engkau tidak mendapatkan tafsirnya dalam Al-Qur`an, maka tafsirkanlah dengan Sunnah, karena ia adalah penjelas dan penerangnya. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i mengatakan; ‘Semua yang diputuskan oleh Rasulullah SAW adalah apa yang beliau pahami dari Al-Qur`an. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا . (النسآء : 105)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, agar engkau menghukumi di antara manusia dengan apa yang diwahyukan Allah kepadamu. Dan janganlah engkau memusuhi (orang tak bersalah) karena membela mereka yang khianat.” (QS. An-Nisaa`: 105)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلَّا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ . (النحل : 64)
“Dan Kami tidak menurunkan Al-Kitab ini kepadamu melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan, juga sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum mukminin.” (QS. An-Nahl: 64)
Itulah makanya Rasulullah SAW bersabda,
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ .
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan yang sepertinya bersamanya.”
… maksudnya yaitu Sunnah. Dan, Sunnah juga diturunkan kepada beliau dengan wahyu sebagaimana Al-Qur`an, karena Sunnah juga dibaca sebagaimana Al-Qur`an juga dibaca. Imam Asy-Syafi’i dan para imam lain berargumentasi dalam masalah ini dalil-dalil yang sangat banyak, dimana bukan di sini tempat pembahasannya.”
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah menyebutkan hadits Muadz bin Jabal RA yang sangat terkenal dalam masalah ijtihad. Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunan-nya dari para sahabat Muadz, bahwa Rasulullah SAW bertanya kepada Muadz saat hendak mengutusnya ke Yaman,
كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ .
“Bagaimana engkau memutuskan jika engkau menghadapi suatu masalah?” Muadz berkata, “Aku akan memutuskan dengan Kitab Allah.” Nabi berkata, “Kalau engkau tidak mendapatkannya dalam Kitab Allah?” Muadz berkata, “Aku putuskan dengan Sunnah Rasulullah SAW.” Nabi bertanya lagi, “Jika engkau tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah SAW dan juga tidak terdapat dalam Kitab Allah?” Muadz berkata, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak berlebihan.” Maka, Nabi pun menepuk dada Muadz seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah dengan apa yang membuat Rasulullah ridha.”
Dalam I’lam Al-Muwaqqi’in, Imam Ibnul Qayyim (w. 751 H) menyebutkan banyak contoh Sunnah Nabi yang menafsirkan Al-Qur`an. Misalnya, benang putih dan benang hitam adalah putihnya siang dan gelapnya malam; yang melihat beliau waktu singgah di Sidratul Muntaha adalah Malaikat Jibril AS, tafsir beliau tentang sebagian tanda kekuasaan Allah yang akan datang (menjelang kiamat) adalah terbitnya matahari dari barat, tafsir beliau tentang kilat petir (ar-ra’du) adalah malaikat yang diutus di awan, dan lain-lain.
Kaidah Kelima; Mengedepankan Pendapat Sahabat Sebelum Pendapat Sendiri
Setelah Rasulullah SAW, tidak ada orang yang paling mengetahui agama ini selain para sahabat RA. Merekalah orang-orang yang mendengar langsung ajaran Islam dari sang pembawa risalah, Nabi Muhammad SAW. Mereka turut menyaksikan turunnya wahyu. Bahkan, tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur`an turun karena mereka. Tidak mengherankan, jika sebagian ulama menganggap bahwa tafsir sahabat kedudukannya sama seperti hadits marfu’. Imam Az-Zarkasyi berkata, “Sesungguhnya kedudukan tafsir sahabat bagi mereka itu adalah marfu’ (terangkat) sampai kepada Nabi SAW, sebagaimana yang dikatakan Al-Hakim dalam Tafsir-nya.”
Di kalangan sahabat, banyak di antara mereka yang menguasai ilmu-ilmu Al-Qur`an, mempunyai pemahaman yang sangat baik, dan pandai menafsirkannya. Ibnu Abbas RA, yang tak lain adalah keponakan Nabi, adalah salah satunya. Ia dikenal sebagai turjumanul Qur`an, terjemahan Al-Qur`an, atau Al-Qur`an berjalan. Rasulullah SAW pernah mendoakan Ibnu Abbas,
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ .
“Ya Allah, pahamkanlah dia dalam agama dan ajarkanlah takwil kepadanya.”
Sebagai sahabat yunior, Ibnu Abbas menimba ilmu tidak hanya dari Nabi. Dia juga belajar dari para sahabat senior tanpa rasa sungkan. Artinya, jika kemampuan Ibnu Abbas yang ketika ditinggal Nabi masih berusia remaja, tentu para sahabat lain yang lebih senior banyak juga yang mempunyai kemampuan masalah Al-Qur`an sama seperti Ibnu Abbas atau bahkan lebih. Setidaknya, apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib RA tentang dirinya bisa menjadi gambaran. Ali berkata, “Demi Allah, tidak ada satu ayat pun yang turun kecuali aku tahu dalam masalah apa ia turun. Sesungguhnya Tuhanku menganugrahi aku hati yang berakal dan lisan yang suka bertanya.”
Adapun Ibnu Mas’ud RA, dia berkata tentang dirinya, “Demi yang tiada Tuhan selain Dia, tidak ada satu ayat pun dari Kitab Allah yang turun melainkan aku mengetahui berkenaan dengan siapa ia diturunkan dan di mana diturunkan. Sekiranya aku tahu ada orang lain yang lebih tahu dariku tentang Kitab Allah di suatu tempat yang bisa dijangkau langkah kaki, pasti akan aku datangi.”
Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Apabila kami tidak mendapatkan tafsir suatu ayat dalam Al-Qur`an dan tidak pula dalam Sunnah, kami akan merujuk pada perkataan para sahabat. Sesungguhnya mereka itu lebih tahu tentang Al-Qur`an karena mereka menyaksikan langsung turunnya Al-Qur`an dan peristiwa yang melatar-belakanginya. Selain itu, mereka juga memiliki pemahaman yang sempurna serta ilmu yang shahih, terutama para ulama dan pembesar mereka seperti imam yang empat khulafa`ur rasyidin, dan para sahabat terkemuka lainnya seperti Ibnu Mas’ud…”
Kaidah Keenam; Mencermati dan Memaksimalkan Peran Asbab Nuzul
Tidak semua ayat Al-Qur`an turun dengan sebab tertentu. Namun, justru sebagian besarnya turun sebagai permulaan suatu hukum dari Allah. Adapun sebagiannya lagi turun setelah terjadi suatu peristiwa atau karena ada pertanyaan, baik itu dari sahabat, kaum kafir Quraisy, maupun Ahlu Kitab. Ayat-ayat Al-Qur`an yang turun karena sebab inilah yang menjadi ajang pembahasan dan kajian para ulama tafsir. Sebab, pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat akan sangat membantu dalam pemahaman maksud dan penerapan hukumnya.
Syaikh Abul Fath Al-Qusyairi berkata, “Penjelasan tentang sebab turunnya ayat adalah cara yang sangat ampuh untuk memahami makna-makna dari Kitab yang mulia ini.”`
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengetahui asbab nuzul bisa membantu dalam memahami suatu ayat. Sebab, ilmu tentang suatu sebab bisa membuat orang mengerti tentang akibat.”
Imam Asy-Syathibi berkata, “Pengetahuan tentang asbab nuzul itu merupakan suatu keharusan bagi orang yang ingin belajar ilmu Al-Qur`an.”
Ketika menjelaskan masalah ini, Syaikh Al-Qaradhawi menyebutkan ayat ini sebagai contoh:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ... (الممتحنة : 10)
“Hai orang-orang beriman, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan mukminat yang berhijrah, maka ujilah mereka. Allah lebih tahu dengan iman mereka. Maka, jika kalian mengetahui mereka benar-benar beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada kaum kafir… dst.” (Al-Mumtahanah: 10)
Al-Qaradhawi menjelaskan, bahwa orang yang membaca ayat ini tidak bisa memahami maksudnya jika tidak mengetahui sebab dan kapan turunnya ayat ini. Ayat ini turun setelah perdamaian Hudaibiyah di mana dalam perdamaian tersebut terdapat syarat-syarat yang di antaranya adalah keharusan Nabi Saw mengembalikan orang Makkah yang datang kepada beliau sebagai muslim kepada suku Quraisy. Akan tetapi, apakah perempuan masuk dalam poin perjanjian ini? Di sinilah letak pentingnya asbab nuzul. Dalam ayat di atas dan ayat sesudahnya diterangkan bahwa perempuan tidak termasuk dalam cakupan perjanjian damai Hudaibiyah. Jika ada perempuan mukminah datang dari Makkah ke Madinah, ia harus dites dulu keimanannya. Apabila perempuan tersebut benar-benar beriman, ia tidak usah dikembalikan.
Epilog
Enam kaidah di atas bukanlah angka mati atau jumlah pasti dalam rambu-rambu menafsirkan Al-Qur`an, melainkan sekadar pengantar. Sebab, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Di antara mereka ada yang membuat banyak sekali kaidah-kaidah ini. Dan, di antara mereka juga ada yang mencukupkan serta meringkasnya di bawah sepuluh kaidah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
* * *
Daftar Pustaka
1. Abul Abbas Ahmad bin Abdil Halim Al-Harrani Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul Al-Qur`an, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
2. Ali bin Muhammad Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Tahqiq: Ibrahim Al-Abyari, Dar Al-Kitab Al-Arabi: Beirut, Cetakan pertama, Tahun 1405 H.
3. Al-Mathba’ah Al-Kathulikiyah, Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A’lam, hlm 643, Dar Al-Masyriq: Beirut, Cetakan ke-37, Tahun 1998.
4. Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur`an, Tahqiq: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, Penerbit Dar Ihya` Al-Kutub Al-Arabiyah: Kairo, Cetakan pertama, Tahun 1957 M – 1376 H (Program Al-Maktabah Asy-Syamilah).
5. DR. Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Penerbit Maktabah Wahbah: Kairo, Cetakan ke-6, Tahun 1995 H – 1416 H.
6. DR. Muhammad Rawwas Qal’ahji, Mu’jam Lughati Al-Fuqaha`, Dar An-Nafa`is: Beirut, Cetakan kedua, Tahun 1988 M – 1408 H.
7. DR. Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Qur`an, Penerbit Dar Asy-Syuruq: Kairo, Cetakan pertama 1999 M – 1419 H.
8. Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami Al-Bayan fi Ta`wil Al-Qur`an, Tahqiq: Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Penerbit Muassasah Ar-Risalah: Kairo, Cetakan pertama, Tahun 2000 M – 1420 H.
9. Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim, Tahqiq: DR. Kamal Ali Al-Jamal, Penerbit Dar Al-Kalimah: Manshurah – Mesir, Cetakan pertama, Tahun 1998 M – 1419 H.
10. Ibnu Manzhur, Lisan Al-‘Arab, Dar Shadir: Beirut, Cetakan pertama, Tanpa tahun.
11. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lam Al-Muwaqqi’in, Tahqiq: Thaha Abdurrauf Sa’ad, Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
12. Ibrahim bin Musa Al-Lakhami Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, Tahqiq: Abu Ubaidah Masyhur Hasan, Penerbit Dar Ibnu Affan, Cetakan pertama, Tahun 1997 M – 1417 H.
13. Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur`an, Tahqiq: Muhammad Syarif Sukkar, Penerbit Maktabah Al-Ma’arif: Riyadh, Cetakan pertama, Tahun 1987 M – 1407 H.
14. Manna’ Khalil Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur`an, Penerbit Maktabah Wahbah: Kairo, Cetakan ke-12, Tahun 2002 M – 1423 H.
15. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, Cetakan Cetakan kedua Edisi III, Tahun 2002.
16. Dan lain-lain (kitab-kitab hadits beserta syarahnya).
0 komentar:
Posting Komentar