A. PENDAHULUAN
Kaum Muslimin memposisikan sunnah Nabi  Muhammad SAW sebagai salah satu sumber ajaran Islam kedua setelah  Al-Qur’an. Dan hadits selama ia sahih maka akan menempati posisi yang  sangat strategis dalam khazanah hukum Islam. Penjelasan-penjelasan atas  arti dan maksud ayat Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw.  bermacam-macam bentuknya. Ia dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan  ataupun taqrir (pembenaran berupa diamnya beliau terhadap perbuatan yang  dilakukan oleh orang lain). Dalam sunnah itulah kaum muslimin menemukan  berbagai fakta historis mengenai bagaimana ajaran-ajaran Islam yang  diwahyukan oleh Tuhan dan diterjemahkan kedalam kehidupan nyata oleh  Nabi Muhammad SAW. Karena sifatnya yang sangat praktis, dan tidak jarang  mengikat secara keagamaan, al-Hadits sering menjadi lebih populer dan  lebih menentukan dalam pembentukan tingkah laku sosio-keagamaan  dibanding ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh sebab itu pada praktiknya kehidupan  seorang muslim banyak ditentukan oleh Al-Hadits Nabi.
Sebagai suatu tindakan Nabi yang  dimaksudkan untuk “membumikan” ajaran Islam, maka hadits tidak bisa  mengelak dari dinamika sosial yang terjadi. Bahkan tidak jarang sebuah  hadits menjadi ajang tarik-menarik kepentingan antar realitas sosial  saat itu dan norma ideal, yang biasanya berahir dengan kompromi suatu  ajaran tertentu, meskipun semuanya masih dalam bingkai wahyu. Dan hampir  semua persoalan yang muncul dalam kehidupan Nabi terungkap dalam  Al-Hadits.
Al-Qur’an berbicara tentang  prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang sifatnya universal, sementara  Hadits menafsirkan ayat-ayat tersebut sehingga lebih jelas dan  operasional, bahkan hadits bisa berdiri sendiri dalam pembentukan hukum  ketika Al-Qur’an sama sekali tidak memberikan keterangan tentang hukum  tersebut. Dengan demikian al-qur’an dan hadits merupakan “dwi-tunggal”  yang tidak boleh dipisah-pisahkan. Meskipun demikian, tidak berarti  bahwa kedudukan keduanya sejajar. Hal ini terlihat antara lain pada  jaminan redaksional dan pengondifikasiannya. Legalitas redaksi  Al-Qur’an, sudah tidak diragukan lagi. Al-Qur’an langsung dari Allah dan  Nabi Muhammad langsung meminta pada para sahabat untuk menuliskannya  setiap kali ayat itu turun dan pencatatan Al-Qur’an merupakan pekerjaan  yang tidak pernah dirahasiakan dan menjadi aktivitas publik. Sedangkan  Hadits baru didokumentasikan setelah dua generasi, sehingga sumber  pertama setelah Nabi yaitu para sahabat, hampir tidak ditemukan lagi.  Penulisan hadits juga hanya menjadi pekerjaan sebagian kecil sahabat  saja. Bahkan suatu saat Nabi pernah melarang menulis apa saja yang  datang dari beliau selain al-Qur’an. Sehingga pen-tadwin-an hadits secara resmi tertunda sampai abad ke-2 H.
Dari adanya permasalahan tersebut di  atas, maka muncullah berbagai macam kritik atas hadits dengan hadirnya  metodologi kritik hadis atau metodologi penelitian hadits. Dalam ilmu  hadits tradisi penelitian ini lebih difokuskan kepada unsur pokok hadis  yaitu sanad, matan dan rawi. Dalam ilmu sejarah, penelitian matn atau nagdul matn dikenal dengan istilah kritik intern, atau an-naqdud dakhili, atau an-naqdul-batini. Untuk penelitan sanad atau naqdus-sanad, istilah yang biasa dipakai dalam ilmu sejarah ialah kritik ekstern, atau an-naqdul-khariji, atau an-naqduz zahiri.
Kritik terhadap hadits datang dari dua  arah yang berlainan, arah pertama datang dari dalam Islam dan yang kedua  dari luar Islam. Kelompok yang pertama bertujuan untuk mencari  kebenaran esensial suatu hadits. Artinya untuk menguji kebenaran suatu  hadits, apakah ia sungguh-sungguh datang dari Rasulullah Saw, atau  bukan. Sedangkan yang datang dari luar Islam jelas tujuannya untuk  menggugat eksistensi hadits sebagai sumber hukum dan ajaran Islam yang  diantaranya adala umat Islam sendiri dan orientalis.
Sehubungan dengan itu, makalah ini dalam  pembahasannya akan mencoba mencermati beberapa persoalan yaitu bagaimana  mendefinisikan kritik dan kritik hadits, kemunculan kritik hadits,  perkembangannya, serta sasaran yang biasanya dijadikan kritik hadits  baik itu oleh umat Islam sendiri maupun orientalis.
B. PEMBAHASAN
1. Kritik Hadits; Pengertian dan Urgensinya
Kata kritik (Critic) berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya “a judge (seorang hakim), yang berarti (1) a person who expresses an unfavuorable opinion or something, (2) a person who reviwes literacy or artistic works. Sedangkan kata kritik dalam bahasa Prancis adalah Critique mempunyai makna a detailed analysis and assesment . Karena itu, kata kritik (Critic) terdapat banyak arti, diantaranya: commentator, evaluator, analyst, judge, and pundit. sedangkan kata kritik dalam arti “critique” berarti evaluation, assesment, appraisal, appreciation, critism, review, study, commentary, exposision, dan exegesis. 
Dalam konteks tulisan ini kata “kritik” dipakai untuk menunjuk kepada kata an-naqd dalam studi hadis. Dalam literatur Arab kata “an-naqd” dipakai untuk arti “kritik”, atau “memisahkan yang baik dari yang buruk.” Kata “an-naqd”  ini telah digunakan oleh beberapa ulama hadis sejak awal abad kedua  Hijriah, hanya saja istilah ini belum populer di kalangan mereka.
Kata “an-naqd” dalam pengertian  tersebut tidak dijumpai dalam al-Qur’an maupun hadis. Namun kata yang  memiliki pengertian yang sama disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu kata tamyiz  yang berarti memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain. Bahkan seorang  pakar hadis abad ketiga Hijriah, Imam Muslim (w. 261 H / 875 M) memberi  judul bukunya yang mebahas metode kritik hadis dengan al-Tamyiz. Sebagian ulama menamakan istilah an-naqd dalam studi hadis dengan sebutan al-jarh wa at-tadil sehingga dikenallah cabang ilmu hadis, al-jarh wa at-tadil  yaitu ilmu untuk menunjukkan ketidaksahihan dan keandalan.  Memperhatikan pengertian dan perkembangan istilah tersebut, dalam bahasa  Indonsia, kritik berarti berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan  identik dengan kata “menyeleksi” yang secara leksikal memiliki arti  menyaring atau memilih.
Secara istilah, kritik hadits Menurut Muhammad Tahir al-Jawaby sebagaimana dikutip Ah. Fudhaily adalah :
“Ilmu kritik hadis adalah ketentuan  terhadap para periwayat hadis baik kecacatan atau keadilannya dengan  menggunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang dikenal oleh ulama-ulama  hadis. Kemudian meneliti matn hadis yang telah dinyatakan sahih dari  aspek sanad untuk menetukan keabsahan atau ke-dhaifan matn hadis  tersebut, mengatasi kesulitan pemahaman dari hadis yang telah dinyatakan  sahih, mengatasi kontradisi pemahaman hadis dengan pertimbangan yang  mendalam”
Sedangkan menurut M. M. Azami memaknai kritik hadits dengan “Kemungkinan definisi kritik hadis adalah membedakan (al-Tamyis)  antara hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da’if dan menetukan kedudukan  para periwayat hadis tentang kredibilitas maupun kecacatannya”
Dari pengertian kata atau istilah kritik di atas, dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kritik hadis (naqd al-hadits)  dalam konteks ini ialah usaha untuk menyeleksi hadis sehingga dapat  ditentukan antara hadis yang sahih atau lebih kuat dan yang tidak.  Kesahihan yang berhasil diseleksi dalam kegiatan kritik hadits tahap  pertama ini baru pada tahap menyatakan kesahihan hadits menurut  eksistensinya. Pada tahap ini belum sampai pada pemaknaan matan hadis,  kendatipun unsur-unsur interpretasi matan boleh jadi ada terutama jika  menyeleksi matan dengan cara melihat tolok ukur kesahihan matan hadis.  Bila terdapat matan-matan hadis yang sangat rumit dikritik atau  diseleksi berkaitan dengan pemaknaannya, maka hal tersebut “diserahkan”  kepada studi matan hadis tahap kedua yang menangani interpretasi atau  pemaknaan matan hadis (ma’an al-hadits).
Dalam studi hadis persoalan sanad dan  matan merupakan dua unsur yang penting yang menentukan keberadaan dan  kualitas suatu hadis. Kedua unsur itu begitu penting artinya, dan antara  yang satu dengan yang lainya saling berkaitan erat, sehingga kekosongan  salah satunya akan berpegaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan  kualitas suatu hadis. Karenya suatu berita yang tidak memilki sanad  tidak dapat disebut sebagai hadits; demikian sebaliknya matan, yang  sangat memerlukan keberadaan sanad.
Ada beberapa faktor yang menjadikan  penelitian / kritik hadis berkedudukan sangat penting. Menurut Syuhudi  Ismail faktor-faktor tersebut adalah:
1. Hadis Nabi sebagai salah satu sumber  ajaran Islam. Kita harus memberikan perhatian yang khusus karena hadis  merupakan sumber dasar hukum Islam kedua setelah al-Qur’an dan kita  harus menyakininya.
2. Tidaklah seluruh hadis tertulis pada  zaman Nabi. Nabi pernah melarang sahabat untuk menulis hadis, tetapi  dalam perjalannnya hadis ternyata dibutuhkan untuk di bukukan.
3. Telah timbul berbagai masalah  pemalsuan hadis. Kegiatan pemalsuan hadis ini mulai muncul kira-kira  pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, demikaian pendapat  sebagaian ulama hadis pada umumnya.
4. Proses penghimpunan hadis yang memakan  waktu yang lama. Karena proses yag panjang maka diperlukan openelitian  hadis, sebagai upaya kewaspadaan dari adanya hadis yang tidak bisa  dipertanggung jawabkan.
5. Jumlah kitab hadis yang banyak dengan  model penyusunan yang beragam. Bayaknya metode memunculkan kriteria yag  berbeda mengenai hadis, terkadang kitab-kitab hadis hanya mengumpulkan  /menghimpunn hadis, maka hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
6. Telah terjadi periwayatan hadis secara makna, hal ini di khawatirkan adanya keterputusan sumber informasinya.
Sungguh telah banyak problem yang menimpa  otentikan hadis, mulai dari persoalan ekternal, yakni aksi gugat  mengugat yang datang dari kalangan non muslim (orientalis) maupun muslim  sendiri, yang mempersolakan keberadaan hadits. Tokoh-tokoh yang  mempersoalkan keberadaan hadis misalnya Ignas Goldziher dan Yosep  Scahcht, dua orientalis ini sangat getol mengkritik hadis (meragukan  otentisitasnya).
Adapun persoalan yang mengemukakan dari  sisi internal, adalah persoalan yang bersangkutan dari figur Nabi,  sebagai figus sentral. Sebagai Nabi akhir zaman, otomatis ajarn-ajaran  beliau berlaku bagi keseluruhan umat, dari berbagi tempat, waktu sampai  pada akhir zaman, sementara hadis itu sendiri turun pada kisaran  kehidupan Nabi. Disamping itu tidak semua hadis mempuyai asbab al-wurud,  yang menyebabkan hadis bersifat umum atau khusus. Dengan melihat  kondisi yang melatarbelakangi menculnya suatu hadis, menjadikan sebuah  hadis kadang difahami secara tekstual dan secara kontektual.
Keberadaan Nabi dalam berbagai posisi dan  fungsinya yang terkadang sebagai manusia biasa, sebagai pribadi, suami,  sebagai utusan Allah, sebagai kepa;al-Qur’an negara, sebagai panglima  perang, sebagai hakim dan lainya. Keberadan Rasulallah ini menjadi acuan  bahwa untuk memahami hadis perlu dikaitkan dengan peran apa yang beliau  ‘mainkan’. Oleh karenaya penting sekali untuk mendudukan pemahaman  hadis pada tempatnya yang proposional, kapan dipahami secara tekstual,  kontektual, universl, temporal, situasional maupun lokal. Itulah  pentingnya mengenal ilmu penelitian/kritik hadis, hal ini akan  memudahkan kita memahami hadis disamping itu kita juga bisa menilai  kualitas hadis itu.
2. Munculnya Kritik Hadits
Secara historis, sesungguhnya kritik atau  seleksi hadis dalam arti upaya untuk membedakan antara yang benar dan  yang salah telah ada dan dimulai pada masa Nabi masih hidup meskipun  dalam bentuk yang sederhana. Praktik penyelidikan atau pembuktian untuk  meneliti hadis Nabi pada masa itu tercermin dari kegiatan para sahabat  pergi menemui atau merujuk kepada Nabi untuk membuktikan apakah sesuatu  benar-benar telah dikatakan oleh beliau.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Umi Sumbulah bahwa:
“Jika kritik dipahami sebagai sebuah  upaya untuk memilah-milah antara yang sahih dan yang tidak, maka dapat  dipahami bahwa kegiatan kritik hadits telah ada sejak masa Rasulullah,  meski disadari bahwa kegiatan tersebut masih dilakukan dalam bentuk yang  sangat sederhana. Pada masa ini masih dalam bentuk konfirmasi, yakni  para sahabat yang tidak secara langsung mendengar secara langsung dari  beliau, tetapi dari sahabat lainyang mendengarkannya”.
Dengan demikian, para sahabat dapat  secara langsung dapat mengetahui valid dan tidaknya hadits yang mereka  terima. Pada dasarnya, aktifitas tersebut tidak dikarenakan ada  kecurigaan terhadap pembawa berita bahwa ia telah berdusta, namun kebih  didasarkan bahwa berita yang berasal dari Rasulullah memang benar-benar  ada. Namun demikian, para ulama bersepakat bahwa konfirmasi di era  Rasulullah ini dipandang sebagai embrio atua cikal bakal lahirnya ilmu  kritik hadits, yang dalam tahap berikutnya menurut Jalaluddin Al Sututhi  sebagaimana dikutup Umu Sumbulah menjadi salah satu dari 93 cabang ilmu  hadits. Praktik kritik hadits dengan pola konfirmasi ini berhenti  dengan wafatnya Rasulullah, namum buka berarti bahwa kritik hadits tela  kehilangan urgensinya.
Setelah Nabi wafat (11 H=632 M), tradisi  kritik hadis dilanjutkan oleh para sahabat. Pada periode ini, kritik  hadits lebih bersifat komparatif. Tercatat sejumlah sahabat perintis  dalam bidang ini, yaitu Abu Bakar as-Siddiq (w. 13 H=634 M) dengan  mensyaratkan adanya saksi yang mendukung terkait kasus waris bagi nenek  yang ditinggalkan cucunya, yang diikuti oleh Umar bin Khattab (w. 234  H=644 M) dalam kasus salam yang dilakukan oleh Abu Musa al Asyari juga  mensyaratkan untuk mendatangkan seorang saksi yang membenarkan ucapan  itu.
Di samping kedua metode kritik di atas,  pada periode ini juga menggunakan periode kritik yang merupakan  pengembangan dari metode komparatif. Perbedaannya pada tidak hanya  mengandalkan pada kekuatan hafalan belaka, namun juga dilakukan  perbandingan pada data tertulis yang ada. Diantara para kritikus  misalnya Abdullah Ibn Abbas (w. 65 H), ‘Aisyah (w. 52 H=678 M), Abdullah  bn Umar (w.83 H), Abdullah ibn ‘Amr ibn Al Ash (w. 65 H); Abu sa’id Al  Khuddzuri (w. 79 H), serta Anas ibn Malik (w. 92 H.).
3. Perkembangan Kritik Hadits Pasca Sahabat
Pada periode pasca sahabat, mulai  ditandai dengan penyebaran hadis yang semakin banyak dan meluas, dan  banyak bermunculan hadis palsu (maudhu’). Menanggapi keadaan  seperti itu, bangkitlah para ulama untuk melakukan kritik atau seleksi  guna menentukan hadis-hadis yang benar-benar berasal dari Nabi, dan yang  tidak. Sementara itu, rangkaian para periwayat hadis yang “tersebar”  menjadi lebih banyak dan panjang. Perhatian ulama untuk meneliti matan  dan sanad hadis makin bertambah besar, karena jumlah periwayat yang  tidak dapat dipercaya riwayatnya semakin bertambah banyak. Mereka pun  merumuskan kaidah dan cara untuk melakukan kritik atau seleksi hadis.
Sejak abad kedua sampai keenam Hijriah  tercatat usaha para ulama yang berusaha untuk merumuskan kaidah  kesahihan hadis, sampai kemudian para ulama menetapkan persyaratan hadis  sahih, yaitu sanadnya bersambung (sampai kepada Nabi), diriwayatkan  oleh para periwayat yang bersifat tsiqah (adil dan dhabit) sampai akhir sanad, dan dalam (sanad) hadis itu tidak terdapat kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘illat).
Para ulama’ hadits menetapkan beberapa  syarat untuk menyeleksi antara hadis-hadis yang sahih dan yang maudhu‘  para pakar hadis menetapkan ciri-ciri hadis shahih sebagai tolok  ukurnya. Tiga syarat berkenaan dengan sanad dan dua berkenaan dengan  matan hadits. Subhi Shalih dan Mahmud Tahhan mengartikan hadits  dikatakan shahih apabila memenuhi beberapa kriteria berikut:
الحديث المسند الذي اتصل سنده  بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط حتى ينتهي الى رسول الله صلى الله عليه  وسلم أو الى منتهاه من صحابي أو من دونه ولا يكون شاذا ولا معللا
“Hadits yang sanadnya sambung,  dikutip oleh orang yang adil lagi dlobith (cermat) dari orang yang sama,  sampai berakhir kepada Rosulullah saw. atau kepada sahabat atau kepada  tabi’in, bukan hadits yang syadz (kontroversial) dan terkena illat (yang  menyebabkannya cacat dalam penerimaannya).”
Dari definisi di atas dapat ditarik  simpulan bahwa untuk memenuhi kriteria keshohihan hadits, terdapat lima  poin syarat yang harus dipenuhi.
1. اتصال السند artinya  setiap perowi benar-benar meriwayatkan hadits tersebut langsung dari  orang (guru) diatasnya. Begitu seterusnya hingga akhir sanad.
2. عدالة الرواة artinya  setiap perowi adalah seorang muslim yang sudah baligh dan berakal sehat  yang tidak memiliki sifat fasiq serta terjaga wibawanya.
3. ضبط الرواة artinya  setiap perowi adalah seorang pemelihara hadits yang sempurna, baik  menjaganya dengan hati (hafalan) maupun dengan tulisan.
4. عدم الشذوذ artinya hadits tersebut tidak berpredikat syadz yaitu hadits yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqoh (terpercaya)
5. عدم العلة artinya hadits tersebut bukan hadits yang terkena illat. Yaitu  sifat samar yang mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam  penerimaanya, kendati secara lahiriyah hadits tersebut terbebas dari illat.
Beberapa persyaratan di atas cukup  menjamin ketelitian dan penukilan serta penerimaan suatu berita tentang  Nabi. Bahkan kita dapat menyatakan bahwa dalam sejarah peradaban  manusia tidak pernah dijumpai contoh ketelitian dan kehati-hatian yang  menyamai apa yang telah dipersyaratkan dalam kaidah kesahihan hadits.  Namun yang lebih penting lagi adalah kemampuan yang cukup untuk  mempraktikan persyaratan-persyaratan tersebut.
Seiring dengan itu, perhatian para ulama  dalam menyeleksi hadis banyak terporsir untuk meneliti orang-orang yang  meriwayatkan hadis. Jadi, dapat dikatakan bahwa studi hadis pada periode  ini mengalamai pergesera; pada periode Rasul dan Sahabat kritik hadis  tertuju pada matannya, sedangkan periode sesudahnya cenderung lebih  banyak mengkaji aspek sanadnya. Hal tersebut dapat dimaklumi karena  tuntutan dan situsi zaman yang berbeda, pada periode sahabat Nabi belum  dikenal tradisi sanad, sedangkan pasca sahabat sanad dan seleksi sanad  menjadi suatu keniscayaan dalam proses penerimaan dan penyampaian (tahammul wa al-ada) hadis.
Kaidah kasahihan hadis tersebut dalam khazanah studi hadis atau ilmu-ilmu hadis (‘ulum al-hadits) telah  lama dikenal dan diaplikasikan, sampai-sampai menjadi mapan dan baku.  Sayang, kaidah tersebut dalam praktiknya baru memadai untuk studi sanad,  sedangkan untuk studi matan hadis masih belum cukup. Hasil penelitian  al-Adlabi menunjukkan bahwa kritik matan hadis yaang dilakukan oleh para  ulama hadis selama ini masih bergantung pada kajian mereka terhadap hal  ihwal kehidupan periwayat hadis. Al-Adlabi juga menyimpulkan bahwa  contoh-contoh hadis yang mengandung syuzuz dan ‘illat  yang dikemukakan oleh al-Hakim dan al-Khatib al-Bagdadi, dua ulama hadis  yang memperkenalkan kemungkinan adanya syuzuz dan ‘illat dalam matan  hadis, belum memberikan perhatian terhadap kritik matan hadis. Jadi,  kriteria terhindar dari syuzuz dan ‘illat dalam praktik biasanya  diaplikasikan untuk kepentingan kritik atau penelitian sanad hadis,  sedangkan untuk kritik matan sangat jarang dan sulit dilakukaan.
4. Obyek Kritik Hadits
Tidak perlu diragukan bahwa hadis  merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an. Mengingat begitu  pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap hadis akan terus  dilakukan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi oleh siapapun yang  berkepentingan terhadapnya.
Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang  semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai  acuan atau hujah. Hadis ada yang dapat dipakai ada yang tidak. Di  sinilah letak perlunya meneliti hadis/ kritik hadits. Agar dapat  meneliti hadits secara baik diperlukan antara lain pengetahuan tentang  kaidah dan atau metodenya. Obyek kritik hadits secara garis besar  terbagi ke dalam 3 wilayah utama, yakni kritik sanad hadits, kritik  matan hadits serta kritik atas penulisan dan pembukuan hadits.
a). Kritik Sanad Hadits
Kata sanad menurut bahasa adalah  sandaran atau sesuatu yang di jadikan sandaran. Dikatakan demikian,  karena setiap hadis selalu bersandar kepadanya. Yang berkaitan dengan  istilah sanad adalah kata-kata, seperti al-isnad, al-musnid dan al-musnad.  Kata-kata ini secara terminologis mempunyai arti yang cukup luas yang  artinya; menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal, dan  mengangkat), maksudnya ialah menyandarkan hadis kepada orang yang  menyatakanya.
Fakta sejarah telah menyatakan bahwa  hadis Nabi hanya diriwayatkan dengan mengandalkan bahasa lisan/hafalan  dari para perawarinya selama kurun waktu yang cukup panjang, hal ini  memungkinkan terjadi kesalahan, kealpaan dan bahkan penyimpangan.  Berangkat dari peristiwa ini ada sebagaian kaum muslimin bersedia  mencari, mengumpulkan dan meneliti kualitas hadis, upaya tersebut  dilakukan hanya untuk menyakinkan bahwa hal itu benar-benar dari Nabi.  Hal ini dikarenakan bahwa dalam periwayatan hadits, ada beberapa metode  yang digunakan, yaitu: al sima’, al qira’ah, al ijazah, al munawalah, al mukatabah, al i’lam, al washiyah serta al wijadah.
Sehubungan dengan hal itu, mereka  akhirnya menyusun kriteria-kriteria tertentu, sebagai langkah mereka  mengadakan penelitian pada sanad. Bagian-bagian penting dari sanad yang  diteliti adalah; (1) nama perawi, (2) lambang-lambang periwayatan hadis,  misalnya; sami’tu/sami’na, akhbarāni, yang disuingkat dengan thanidan dhatani sami’tu, haddatsana yang disungkat dengan thana, na, dana, dan akhbarana disingkat dengan ana, raana, akha, ara dan abana ‘an dan annă. Sedangkan lambag periwayaran hadits dengan metode al sima’ yang tidak disepakati penggunaannya adalah qala lana dan dzakara lana.  Menambahkan hal itu menurut Bustamin, sanad harus mempunyai  ketersambungan, yaitu (1) perawi harus berkualitas siqat (‘adil dan  dhabit); (2) masing-masing perawi menggunakan kata penghubung adanya  pertemuan, diantaranya; sami’tu, hadatsana, hadatsani, akhbirni, qala lana, dhakarani.
Pada umumnya para ulama dalam melakukan  penelitian hanya berkosentrasi pada dua pertanyaan; Pertama, apakah  perawi tersebut layak dipercaya, dan kedua, apakah perawi tersebut tidak  pantas dipercaya.
Untuk meneliti isnad/sanad diperlukan  pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter berbagai pribadi  yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad  yang berbeda-beda. Sanad juga untuk memahami signifikansi yang tepat  dari matn, sedangkan untuk menguji keaslian hadis diperlukan pengetahuan  tentang berbagai makna ungkapan yang digunakan, dan juga diperlukan  kajian terhadap hubungan lafadz matn di hadis-hadits yang lain.  Matn hadis yang sudah sahih belum tentu sanadnya sahih. Sebab boleh  jadi dalam sanad hadis tersebut terdapat masalah sanad, sepeti sanadnya  tidak bersambung atau salah satu periwayatanya tidak siqat (‘adil dan dhabit).
Jadi sebenarnya sejarah penelitian /  kritik sanad sudah ada sejak jaman sahabat, misalnya ada hadis yang  dikeluarkan seseorang, maka para sahabat akan mengecek siapa yang  meriwayatkan hadis itu, bagaimana keadaan orang itu dan kualitas hafalan  serta tinggkahlakuanya, karena hal itu akan mempengaruhi kualitas  hadis. Sedang masa setelah para sahabat bisa kita lihat dari produk  kitab-kitab dari para ulama’ tentang kriteria dan kualits sanad atau  perawi yang tentunya dia akan berpengaruh kepada kualaitas hadis.
Singkatnya studi sanad hadis berarti  mempelajari rangkaian perawi dalam sanad, dengan cara mengetahui  biografi masing-masing perawi, kuat dan lemahnya dengan gambaran umum,  dan sebab-sebab kuat dan lemah secara rinci, menjelaskan muttasil dan munqati’nya perawi. Pembahasan/ penelitian ini (kualitas perawi) terangkum dalam kitab/ilmu Rijal al Hadis, atau ilmu Riwayah.  Telah banyak kitab-kitab yang berisi biografi perawi, sampai kepada  ketersambungan masa hidup, dan kualits pribadi mereka (perawi). Ilmu itu  semua terangkum dalam Jarh wat Ta’dil.
b). Kritik Matan Hadits
Penyampaian hadis oleh Nabi pada awalnya  berjalan alamiah, langsung diterima oleh sahabat tanpa melalui syarat  yang ketat atau dengan menggunakan al-adā’ wa at-tahammaul yang  rumit, karena beberapa faktor yang menyebabkan pengetahuan para sahabat  tidak sama, ada yang langsung dia dengar dari Nabi ada yang lewat orang  lain, dari sinilah lahir embrio salah satu cabang ilmu hadis yakni ilmu  riwayah. Dengan kata lain ilmu ini adalah metode penelitian (penilaian)  hadis melalui siapa perawi hadisnya hal ini akan sama dengan penelitian  sanad hadis dan lebih jauh lagi akan menginjak kepada penelitian matan  hadis.
Kata matan atau al-matn menurut bahasa berarti mairtafa’a min al-ardi (tanah  yang meninggi). Sedangkan menurut istilah suatu kalimat tempat  berakhirnya sanad, dengan definisi lebih sederhana bahwa; matan adalah  ujung sanad (qayah as sanad), dengan kata lain yang dimaksud matan ialah materi hadis atau lafal hadis itu sendiri.
Sejak kapan muncul kritik matn hadis?  Pada masa Rasulallah hal ini sudah dilakukan para sahabat ketika  rasulallah masih hidup. Kritik matn dilakukan pada waktu itu menurut  Ahmad Fudhaili telah membentuk pola yang selanjutnya sebagai inpirasi  metode selanjunya, yaitu metode perbandingan (comparison), atau pertanyaan silang dan silang rujuk (cross question and cross reference).
Maksud kritik matn pada masa sahabat  adalah sikap kritis para sahabat terhadap sesuatu yang dinilai janggal  pada pemahaman mereka. Sebagai contoh: Zubair ibn harb menceritakan  kepada kami (muslim), ia berkata Jabir menceritakan kepada kami dari  Mansur dari Hilal ibn Yusuf dari Abi yahya dari abdullah ibn ‘Amr  berkata: “diceritakan kepaku bahwa Rasulallah SAW. Bersabda: “Salat seorang dalam keadaan duduk sama dengan setengah salat (sempurna/berdiri)”.  Abdullah ibn Amr berkata:” maka aku mendatangi Nabi da aku dapati  beliau sedang solat dalam keadaan duduk. Aku letakkan tanganku di atas  kepala beliau”. “ada apa wahai Abdullah ibn Amr”. Aku menjawab.” Wahai  Rasulallah! Diceritakan kepadaku bahwa engkau pernah bersabda ‘”salat  seorang dalam keadaan duduk sama dengan setengah salat  (sempurna/berdiri)”, sedangkan engkau sendiri salat dengan keadaan  duduk.” Nabi menjawab.”Benar!. Akan tetapi aku tidak seperti kalian.
Tindakan yang dilakuakan ‘Aisyah dan  Abdullah ibn ‘Amr adalah cross reference yaitu mengklarifikasi antara  berita yang diterima kepada sumber Rasullah sebagai sumber berita. Hal  tersebut untuk mengkomfirmasi adanya kontradiksi antara informasi  tentang sabda nabi dari sumber lain dengan perbuatan beliau.
Sikap kritis ini juga kita akan temukan  pada sahabat-sahabat lain, yang berusaha untuk memahami ataupun mengecek  hadis Nabi. Inilah upaya untuk penyempurnaan pemahaman Kritik matn pada  masa Nabi lebih mudah dilakuaknm dibanding kritik matn setelah masa  sahabat. Pada masa Nabi sahabat yang mnmukan “kejanggalan” atau  kesulitan dalam memahami perkataan atau perbuatan Nabi secara langsung,  hal itu dilakukan karena Nabi sebagai subjek paling mengetahui maksud  tindakan atau perkataan beliau.
Kritik hadis pasca sahabat dilakukan para  ulama dengan cara seperti yang dilakukan oleh para sahabat, hanya sasja  para ulama harus membutuhkan ekstra keras untuk mmbandingkan data  (dalil) yang lain untuk memahami hadis Nabi..
Pada perkembangan selanjutnya, untuk  mengadakan penelitian/kritik hadis pada bidang materi (matn) paling  tidak menggunakan kriteria ke shahihan hadis adalah sepeti yang  dikemukakan oleh Al-Khatib Al-Baqdadi (w.463 H/1072 M) bahwa suatu matn  hadis dapat dinyatakan maqbul (diterima) sebagai matn hadis yang shahih  apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1) Tidak bertentangan dengan akal sehat
2) Tidak bertentangan dengan al-Qur’an yang telah muhkam
3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir
4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama masa lalu
5) Tidak bertentanga dengan dalil yang telah pasti, dan;
6) Tidak bertentangan dengan hadis Ahad yang kualitas keshahihannya kuat.
Tolok ukur yang dikemukakan di atas,  hendaknya tidak satupun matan hadits yang bertentangan dengannya.  Sekiranya ada, maka hadits tersebut tidak dapat dikatakan matan hadits  yang sahih.
Ibn Jawzi (w.597 H) sebagaimana dikutip  Bastaman memberika tolok ukur kesahihan matan secara singkat, yaitu  setiap hadits yang bertentangan dengan akal ataupun berlawanan dengan  ketentuan pokok agama, pasti hadits tersebut tergolong hadits mawdhu’.
Saha al Din al Adabi mengambil jalan tengah iantara keduanya, ia mengatakan bahwa kriteria kesahihan matan hadits ada 4, yaitu:
1. Tidak bertentangan dengan petujunjuk Al Qur’an;
2. Tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat;
3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, sejarah, dan;
4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Untuk membedakan lebih jelas tentang  kritik sanad dan matn lihat tabel perbandingan berikut yang penulis  nukil dari berbagai sumber:
Tabel Perbedaan Kritik Sanad dan Matan 
Aspek Perbedaan  |  Sanad  |  Matn  |  
| Secara umum: 1. Analisa/melihat keabsahan (kualitas) perawi; dhabit, shiqhoh. dll 2. Lebih kepada asal sumber informasi (Orang).  |  Secara Umum: 1. Lebih kepada isi/teks hadis 2. Pemahaman hadis dengan perbandingan: cross question, cross reference. 3. Kajian bisa dengan berbagai cara. Bahasa, asbab al –wurud hadis, atau crosscek dengan dalil/data lainya.  |  |
| Pada masa Nabi dan sahabat | 1. Kesaksian langsung bisa di cek dari para sahabat (perawi) 2. Bisa langsung cross check kepada Nabi 3. Tidak ada pencelaan terhadap perawi 4. Bersifat konfirmalistik untuk memperkuat informasi yang diterima dan dari siapa 5. Proses konsolidasi untuk mendapatkan kenyakinan dalam mengamalkan info yang diterima dari Nabi. 6. Belum ada kritria keabsahan perawi secara sistematis. 7. Metode sederhana dan tidak atau belum sistematis  |  1. Pemahaman langsung bisa ditanyakan/ di diskusikan kepada Nabi 2. Cenderung ada keseragaman pemahaman karena bisa di cros cek kepada nabi 3. Ada keragaman pemahan tetapi tidak banyak karena pemahaman yang didampingi Nabi dan para Sahabat  |  
| Setelah Sahabat | 1. Melihat keabsahan perawi dari riwarat hidup perawi, sehingga memberikan penilaian baku atas perawi (analisis biografi) 2. Tipis dimungkingkan adanya perbedaan. Karena sudah ada kriteria keabsahan perawi yang dirumuskan oleh para ulama hadits | 1. Conten analisis (analisa teks) 2. Lihat dari aspek bahasa dan sejarah 3. Ada selalu perbedaan pemahaman dan tidak bisa satu karena sumber /referensi yang berbeda. 4. Ada kebebasan untuk memahami hadis dari berbagai aspek kehidupan karena permasalahan kehidupan udah semakin komplek 5. Berpotensi adanya multi intepretatif dari masa ke masa  |  
| Kitab – Kitab terkait | 1. Al Tarikh al Kabir karya Al Bukhari (w. 256 H) 2. Al Jarh wa al Ta’dil karya Ibn abi Haitam al Razi (w. 328 H) 3. Siyar A’lam al Nubala’ karya Utsman Al Dzahabi (w. 748 H) 4. Al Kamal fi Asma al Rijal karya Abdul Al Ghani Al Maqdisi (w. 600 H) 5. Al Kasyif karya Al Dzahabi (748 H) 6. Kitab Al Tsiqah karya Ibn Shalih al ‘Ijli (261 H) 7. Al Isabah fi Tamyiz al Sahabah karya Ibn Hajar Al Asqalani (w. 852 H), dll  |  1. Ikhtilaf al Hadits karya Muhammad ibn Idris al Syafi’i (w. 204H) 2. Ta’wil Mukhtalif al Hadits karya Ibn Qutaibah Al Dinuri (w. 276 H) 3. Manhaj Naqd al Matn ‘inda ‘Ulama Al Hadits al Nabawi karya Salahuddin Ibn Ahmad Al Dzahabi 4. Juhud Al Muhaditsin fi Naqd Matn Al Hadits Al Nabawi Al Syarif karya Muhammad Thair Al Jawabi 5. Manhaj al Naqd ‘inda al muhaditsin karya Muhammad Musthofa Al Azami 6. Assunah An Nabawiyah bayn ahl al fiqh wa Ahl al Hadits karya Muhammad Al Ghazali, dll  |  
| Hikmah | 1. Menambah kenyakinan kita terhadap keontetikan hadis Nabi 2. Menjaga keautentikan hadis 3. Metode sanad adalah satu-satu metode yang tidak ada di agama lain. 4. Menunjukan kehati-hatian kita terhadap sumber kebenaran 5. Sebagai pelajaran kita bahwa sumber informasi (data) itu harus jelas dan tidak boleh dimanipulasi 6. Mengasah nalar kritis kita  |  1. Menambah pemahaman kita terhadap hadis 2. Meminimalisir kesalah pahaman kita terhadap hadis Nabi 3. Membuka pintu ijtihad dan kreatifitas penafsiran dari masa kemasa. 4. Mengurangi sikap fanatisme golongan (sekte) 5. Mengasah nalar kritis kita  |  
c). Kritik Penulisan dan Pembukuan Hadits
Ada satu hal yang perlu dicatat, bahwa  keberadaan hadis jelas berbeda dengan al-Qur’an. Untuk kasus al-Qur’an,  hampir bisa dikatakan tidak ada tenggang waktu antara masa turun,  penulisan dan kodifikasinya, bahkan Rasul sendiri telah menunjuk  beberapa sahabatnya menjadi penulis wahyu. Sementara untuk hadis,  kodifikasi hadis secara resmi, massal dan serentak –khususnya Kutub  al-Sittah– memiliki rentang yang cukup panjang dengan masa Nabi.  Realitas tersebutlah yang mencuatkan pandangan beberapa pihak untuk  mempersoalkan orisinalitas dan otentitas hadis Nabi.
Upaya kodifikasi hadits secara resmi baru  dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani  Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh  dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi  berkaitan dengan otentisitas Hadits. Beberapa penulis dari kalangan  orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun  teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas Hadits. Selain  yang berkaitan dengan proses kodifikasi Hadits, ada pula masalah lain  yang menjadi faktor bagi mereka yang ragu akan otentisitas Hadits, yaitu  tentang adanya larangan penulisan al-Hadits. Diantaranya yang  diriwayatkan oleh Sa’id Al Khudri.
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ  خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ  عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ  اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَكْتُبُوا عَنِّي  وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّي  وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ  مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ (رواه مسلم )
Dari abu sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah bersabda “Janganlah kamu semua menulis (sesuatu) dariku. Barang  siapa menuis sesuatu dariku selain Al Qur’an, maka hendaklah dia  menghapusnya.Dan katakanlah tentang aku, sedangkan ini tidak mengapa, da  barang siapa dengan sengaja berbohong tentang diriku hendaklah ia  mengambil tempat duduknya di neraka (H.R. Muslim).
Namun ada sebuah riwayat yang mengatakan  bahwa Nabi SAW memberikan izin kepada sebagian sahabatnya untuk menulis  hadist. Hal itu bertujuan untuk membantu dalam proses hafalan mereka.  Diantaranya hadist yang memperbolehkan pengkodifikasian hadist adalah.
اكتبواعني فوالذى نفسى بيده ماخرج من فمى الاّحق
Artinya “ Tulislah dari saya demi zat yang diriku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak “.
Dugaan yang sangat keliru ini timbul  karena mereka tidak dapat membedakan antara penulisan hadis yang, secara  resmi, diperintahkan langsung oleh penguasa untuk disebarluaskan ke  seluruh pelosok, dengan penulisan hadis yang dilakukan atas prakarsa  perorangan yang telah dimulai sejak masa Rasulullah saw.
Penulisan bentuk kedua ini sedemikian banyaknya, sehingga banyak pula dikenal naskah-naskah hadis, antara lain:
1. Al-Shahifah Al-Shahihah (Shahifah  Humam), yang berisikan hadis-hadis Abu Hurairah yang ditulis langsung  oleh muridnya, Humam bin Munabbih. Naskah ini telah ditemukan oleh Prof.  Dr. Hamidullah dalam bentuk manuskrip, masing-masing di Berlin (Jerman)  dan Damaskus (Syria).
2. Al-Shahifah Al-Shadziqah, yang ditulis  langsung oleh sahabat ‘Abdullah bin Amir bin ‘Ash –seorang sahabat  yang, oleh Abu Hurairah, dinilai banyak mengetahui hadis– dan sahabat  yang mendapat izin langsung untuk menulis apa saja yang didengar dari  Rasul, baik di saat Nabi ridha maupun marah.
3. Shahifah Sumarah Ibn Jundub, yang beredar di kalangan ulama yang –oleh Ibn Sirin– dinilai banyak mengandung ilmu pengetahuan.
4. Shafifah Jabir bin ‘Abdullah, seorang  sahabat yang, antara lain, mencatat masalah-masalah ibadah haji dan  khutbah Rasul yang disampaikan pada Haji Wada’, dan lain-lain.
Naskah-naskah tersebut membuktikan bahwa  hadis-hadis Rasulullah saw., telah ditulis atas prakarsa para sahabat  dan tabi’in jauh sebelum penulisannya yang secara resmi diperintahkan  oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
Kholifah Umar bin Abdul Aziz (99H-102H)  yang tumbuh dalam ikllim keilmuan, membentuk pribadi yang cinta akan  ilmu pengetahuan. Selain itu beliau juga terkenal jujur. Sehingga ketika  Ia menangkap kenyataan bahwa banyak dari para penghafal hadist yang  wafat, serta semakin berkembangnya hadist palsu, maka tergeraklah  hatinya untuk mengkodifikasikan hadist. Ia khawatir kalau tidak segera  dibukukan maka hadist pasti akan berangsur-angsur hilang. Kekhawatiran  itulah yang menyebabkan kholifah memerintahkan Gubernur Madinah Abu  Bakar Muhammad bin Amru bin Hazm (w. 117 H) untuk membukukan hadist yang  terdapat pada penghafal Amrah binti Abdurrahman bin Saad bin Zuhairah  bin Ades (ahli fiqih murid Aisyah RA) serta hadist yang ada pada Qosim  bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq. Selain itu kholifah juga  memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w 124 H) untuk mengumpulkan  hadist yang ada pada para penghafal Hijaz dan Syuriah. Masa ini dicatat  oleh sejarah sebagai masa kodifikasi resmi.
Diantara isi “instruksi” tersebut adalah sebagai beikut:
انظرماكان من حديث رسول ص.م.  فاكتبه فإنّي خفت دروس العلم وذهاب العلماءولا تقبل إلاّ حديث الرسول ص.م.  ولتفشواالعلم ولتجلسواحتّي يعلم العلم من لا يعلم فإنّ العلم لا يهلك حتّي  يكون سترا
“Perhatikanlah apa yang bisa diambil  dari hadist Rasulullah dan catatlah, saya khawatir akan lenyapnya ilmu  ini setelah ulama wafat dan jangan kau iterima kecuali hadits  Rasul SAW. Sebarkanlah ilmu (hadits), dan duduklah (untuk menyebarkan  ilmu) sehingga manusia mengetahui apa yang tidak tahu. Sesungguhnya ilmu  tidak akan rusak sampai sehingga ditutup-titupi (tidak disampaikan). 
Selanjutnya bertolak dari sini  berkembanglah pengkodifikasian hadist, yang selanjutnya melahirkan  banyak penulis dan penghimpun hadist. Para tokoh tersebut misalnya:  Abdul Malik bin Abdu Aziz bin Juraij (w 159H) di Makkah, Malik bin Anas /  Imam Malik (94-179H), dan Muhammad bin Ishak (w 151H) di Madinah,  ar-Rabbi bin Sabih (w 160H), Said bin Urabah (w 167H), dan Hammad bin  salamah bin Dinar al-Basri (w167H) di Basra, Sufyan as-Sauri (w161H) di  Kufah, Ma’mar bin Rosyd (95-153H) di Yaman, Abdurrahman bin Amr al-Auzi  (88-157H) di Syam, Abdullah bin al-Mubarak (118-181H) di Khurasan,  Hasyim bin Basyr (104-183H) di Wasit, Jarir bin Abdul Hamid (110-188H)  di Rayy dan Abdullah bin Wahab (125-197H) di Mesir.
Sistem pembukuan hadist pada stadium ini  adalah, si pengarang menghimpun semua hadist mengenai masalah-masalah  yang sama dalam satu kitab karangan saja. Dan dalam kitab ini hadist  masih bercampur dengan fatwa sahabat dan tabiin. Belum ada pemilahan  mana hadist yang Marfu’, hadist Mauquf, ataupun hadist Maqtu’, serta  antara hadist Sohih, Hasan, dan Dhoif. Beberapa buku tersebut ada yang  dinamakan al-Jami, al-Musnad, al-Musannaf dan lain-lain. Misalnya Musnad as-Syafii, Musannaf al-Auzai dan al-Muwatta karya Imam Malilk yang disusun atas permintaan kholifah Abu Ja’far al-Mansur (144 H).
Pada awal abad II H, spesifikasi buku,  catatan ataupun kitab-kitab hadis yang muncul dapat dikategorikan  menjadi dua; (a) berisi catatan hadis an-sich, koleksi acak tanpa  sistematisasi bahan (b) berisi hadis yang tercampur dengan keputusan  resmi yang diarahkan oleh khalifah, sahabat, atau tabi’in tidak  tersistematisasi dan merupakan koleksi acak. Baru pada pertengahan abad  II H, mengalami perubahan trend, yang mengarah pada sistematisa isi  kitab berdasar tema-tema tertentu, meski materi hadis masih berbaur  dengan ucapan-ucapan sahabat maupun pendapat-pendapat tabi’in ( hadith marfu’, mauquf dan maqtu’), masih berbaurnya berbagai hadis dalam kualitas (sahih, hasan, da’if) dalam satu kitab. Di antara kitab-kitab hadis yang lahir abad II H, kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik termasuk kitab tertua yang berhasil ditemukan.
Pada abad III H, kodifikasi hadis  mengalami masa keemasan dengan munculnya beragam kitab-khususnya Kutub  al-Sittah–dengan beragam metode penyusunan, ada Kitab Jami’, Sahih,  Musnad, Sunan, Mustadrak, Mustakhraj, Mustadrak,dsb.. Satu spesifikasi  yang kentara terlihat, kitab disusun berdasar permasalahan tertentu yang  dibagi menjadi bab-bab dan sub-sub bab; dipisahkan antara hadis marfu’,  mauquf dan maqtu; dipisahkan kualitas hadis sahih, hasan dan da’if.  Masing-masing kitab memiliki kekhasan yang dimiliki pengarangnya. Oleh  karenanya untuk merujuk sebanyak mungkin satu tema hadis tertentu secara  komprehensif adalah dengan mempergunakan sebanyak mungkin informasi  dari berbagai kitab hadis qualified. Terjaganya tulisan-tulisan awal  dengan dinukilnya tulisan-tulisan tersebut secara kitabah maupun oral transmission  oleh generasi berikut dengan metode kutipan –yang bisa diandalkan– dan  dengan metode komparatif sampai terkodifikasinya hadis secara resmi dan  serentak, abad II-III H, juga sebagai bukti lain tidak perlunya  meragukan orisinalitas seluruh tulisan hadis.
C. KESIMPULAN
Meskipun diakui banyak pihak kodiifikasi  hadis secara total memiliki rentang waktu yang panjang dengan masa Nabi,  namun bukan berarti tidak ada tali pengait yang menjembatani keduanya.  Adanya naskah-naskah awal, adanya periwayatan dari kitab tertentu yang  dikutip oleh banyak orang dan itu disampaikan kepada generasi berikutnya  dengan metode referensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah  dan dengan metode komparasi antar riwayat, menjadi indikasi dapat  terjaganya hadis ke dalam bentuk tulisan. Meski hal ini tidak berlaku  untuk semua hadis dalam kitab hadis. Artinya, walaupun orisinalitas  hadis dalam kitab hadis secara umum bisa diakui, tetapi filterisasi  terhadap ‘hadis’ yang diragukan otentitasnya (naqd al-hadits) tetap diperlukan.
Kritik hadits baik dalam aspek  orisinalitas, sanad maupun matan hadits adalah dalam upaya menyelamatkan  hadits dari kepalsuan yang didasarkan karena faktor politis maupun  faktor lain, baik dari golongan umat Islam, maupun oleh orientalis.
Kritik hadis atau dengan kata lain  penelitian hadis adalah upaya kita untuk menseleksi kehadiran hadis,  memberikan penilaian dan membuktikan keotentikan sebuah hadis. Upaya ini  juga berarti mendudukan hadis sebagai hal yang sangat penting dalam  sumber hukum Islam kedua setelah Al Qur’an, itulah bukti kehati-hatian  kita. Upaya ini juga sebagai upaya untuk memahami hadis secara tepat  dalam mengamalkan isi dari hadis tesebut. jadi kita akan lebih yakin  akan kebenaran hadis karena adanya proses penseleksian yang ketat baik  dari aspek matan maupun aspek sanad dari para sahabat dan para ulama dan  metode pemahaman yang benar.
Daftar Rujukan
Al Dimasqiy, Abu Al Fida Al Hafidz Ibn Katsir. 1989. Ikhtisar Ulul Al Hadits. Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah.
Al Ghazali, Syaikh Muhammad. 1993. Studi Kritik Atas Hadits Nabi SAW : Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Penj. Muhammad Al Baqir. Bandung: Mizan.
al Tahhan, Mahmud. 1995. Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis. Terj; Ridwan Nasir .Surabaya:.Bina Ilmu
Ali. Nizar. 2001. Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan. Yogyakarta: CESad
al-Qusyairi, Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj. t.th Sahih Muslim, Juz II. Bandung: Syirkat Al Ma’arif li al Thaba’i wa al Nasyr.
al-Shalih, Subkhi. 1997. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. (Penj.) Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al-Syafi’iy, Muhammad Idris. 1969. Al-Risalah. Kairo: Al-Halabiy
al-Syiba’i.Muhammad. 1993. Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam. (Terj.) Dja’far Abdul Muchith. Bandung: CV. Diponegoro
Azami, M. M. 1977. Studies in Hadith: Methodology and Literature. (Indiana: American Trust Publications.
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam. 2004. Metodologi Kritik Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Fahyuni, Badriyah dan Alai Najib. 2002. “Mahluk Paling Mendapat Perhatian Nabi : Wanita dalam Islam” dalam Ali Munhanif (ed). Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fudhaili, Ahmad. 2005. Perempuan dilembaran Suci: Kritik atas Hadis-Hadis Sahih. Yogyakarta: Pilar media
Ghafur, Wahyono Abdul. 2002. “Epistemologi Ilmu Hadits” dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.). Wacana Studi Hadits Kontemporer. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Ismail, Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.
Mudasir. 2005. Ilmu hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Munawwir, A.W. 2000. Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Yogyakarta: Unit PP Almunawwir
Poerwadarminta, W.J.S. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balau Pustaka.
Rahman, Fazlur. Dkk. 2002. Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogjakarta:.Tiara Wacana.
Shalih, Subhi. 1997. Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu. Beirut: Dar Al-Ilm Li Al-Malayin.
Shihab. M. Quraish. 1999. Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan. Cet. XX.
Soanes, Catherine (ed),. 2001. Oxford Dictionary, Thesaurus, and Wordpower Guide, .New York: Oxford University Press.
Soebahar, Erfan. 2003. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah; Kritik Musthofa al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmaf Amin Mengeanai Hadits dalam Fajr al-Islam. Jakarta: Kencana.
Sumbulah, Umi. 2008. Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN Malang Press.
Tahhan, Mahmud 1985 Taysir Musthalah Al-Hadits. Surabaya: al-Hidayah. cet.VIII
Tim Penyusun Ensiklipedi Islam, 1999. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Cet.4, Jilid.1.
Ya’qub, Ali Musthafa. 1995. Kritik Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Pengantar Ilmu Hadist. Surabaya: Bina Ilmu. cet. 4.
Zuhri, .Moh. 2003. Telaah Matn Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis. Yogjakarta.: LESFI.
M. M. Azami. Studies in Hadith: Methodology and Literature. (Indiana Polis: American Trust Publications, 1977). Hlm. 46. hal ini juga dapat ditemukan dalam Muhammad as-Syiba’i. Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam. (Terj.) Dja’far Abdul Muchith. (Bandung: CV. Diponegoro, 1993). Hlm. 82-83.
Lihat lebih lanjut Muhammad Idris Al-Syafi’iy, Al-Risalah, (Kairo: Al-Halabiy, 1969), Hlm. 18, dan lihat juga dalam Al-Baghdadi, Al-’Uddah fi Ushul Al-Din, Jilid I, (Mesir: Al-Risalah, 1980), hlm. 112-13.
Badriyah Fahyuni dan Alai Najib. “ Mahluk Paling Mendapat Perhatian Nabi : Wanita dalam Islam” dalam Ali Munhanif (ed). Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002). Hlm. 44.
Ibid. Hal. 45.
Subkhi al-Shalih. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. (Penj.) Tim Pustaka Firdaus. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997). Hlm. 253-256.
Wahyono Abdul Ghafur. “Epistemologi Ilmu Hadits” dalam Hamim Ilyas dan Suryadi (Ed.). Wacana Studi hadits Kontemporer. Yogyakarta:PT. Tiara Wacana, 2002). Hlm. 3-4.
Melalui Hammam dari Zaid bin Aslam dari ‘Ata’ bin Yasar dari Abu Sa’id al-Khudhriy dari Nabi bersabda: لاتكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه “Jangan kamu tulis ucapan-ucapanku, dan barang siapa menulis ucapan-ucapanku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya”. 
Mudasir. Ilmu hadis. (Bandung: Pustaka Setia. 2005). Hlm.61
Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian Hadis Nabi..(Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hlm. 4-5
Catherine Soanes (ed), Oxford Dictionary, Thesaurus, and Wordpower Guide, (New York: Oxford University Press, 2001), Hlm. 283.
Ibid., Hlm. 283
A.W. Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Unit PP Almunawwir, 2000) Hlm. 1551
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam. Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), Hlm. 5
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balau Pustaka, 1996), Hlm. 965
Ahmad Fudhaili,. Perempuan dilembaran Suci: Kritik atas Hadis-Hadis Sahih. (Yogyakarta: Pilar media, 2005). hlm. 27
Ibid, Hlm. 28
Erfan Soebahar. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah; Kritik Musthofa al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmaf Amin Mengeanai Hadits dalam Fajr al-Islam. (Jakarta: Kencana, 2003).Hlm.174
Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian Hadis Nabi.. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hlm. 7-20
Fazlur Rahman. Dkk. Wacana Studi Hadis Kontemporer. (Yogjakarta:.Tiara Wacana, 2002). hlm. 138
Ibid. hlm. 139-140
Umi Sumbulah, Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN Malang Press, 2008) , Hlm. 33
Ali Musthafa Ya’qub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), Hlm. 2
Umi Sumbulah, Ibid, Hlm. 37
Ibid, Hlm. 38-39. Lebih lanjut  diungkapkan bahwa kritik terhadap hadits pada masa Abu Bakar dan Umar  tidak dalam rangka ketidakpercayaan, tapi lebih karena kewajiban moral  untuk memberikan teladan kepada umat Islam. Kritik yang dilakukan lebih  dipahami sebagai bentuk keteladanan yang harus di contoh, terutama dalam  kaitannya dengan penerimaan dan penolakan riwayat hadits.
Ibid, Hlm. 40
Syaikh Muhammad Al Ghazali, Studi Kritik Atas Hadits Nabi SAW : Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Penj. Muhammad Al Baqir, (Bandung: Mizan, 1993). Hlm. 25-26
Subhi Shalih, Ulum Al-Hadits Wa Mustholahuhu, (Beirut: Dar Al-Ilm Li Al-Malayin, 1997). Hlm.145; Lihat juga dalam Mahmud Tahhan, 1985, Taysir Musthalah Al-Hadits,  (Surabaya: al-Hidayah), cet.VIII, hlm.34. Bandingkan juga dengan  definisi yang diberikan oleh Abu Al Fida Al Hafidz Ibn Katsir Al  Dimasqiy, Ikhtisar Ulul Al Hadits, (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1989) Hlm. 11
Mahmud Tahhan, op.cit.
Mudasir. 2005. Op.Cit. hlm. 61
Ibid., Hlm. 62
Subhi Shalih, Op. Cit. Hlm. 88-103.
Umi Sumbulah, Op. Cit. Hlm.51
Bustamin.Op.Cit.h.53
Nizar Ali. Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan (Yogyakarta: CESad, 2001). hlm. 17
Fazlur Rahman dkk. Op.Cit. h. 78.
Bustamin.Op.Cit.h.53
Mahmud al Tahhan. Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis. (Terj; Ridwan Nasir) (Surabaya:.Bina Ilmu, 1995). hlm. 97
Fazlur Rahman. Dkk. Op.Cit. h. 9
Mudasir. 2005. Op.Cit. h.63
Moh. Zuhri. Telaah Matn Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis. (Yogjakarta.: LESFI, 2003). hlm.44
Ahmad Fudhaili.2005. Op.Cit. h. 44
Hadits tersebut di ambil dari buku Ahmad Fudhaili. Op.Cit. hlm.47-48
Dikutib dari Salah Al-Din bin Ahmad Al-Adabi. Oleh Bustamin; Metodologi Kritk Hadis….hlm. 63
Ibid., Hlm. 63
Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahih Muslim, Juz II (Bandung: Syirkat Al Ma’arif li al Thaba’i wa al Nasyr, t.th) Hlm. 598
Masjfuk zuhdi, Pengantar Ilmu Hadist, (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), cet. 4. Hlm, 81
M. Quraish Shihab. Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. (Bandung: Mizan, 1999). Cet. XX. Hlm 23. Lihat juga dalam Penyusun Ensiklipedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1999), cet.4, Jilid.1, Hal 149
Penyusun Ensiklopedi Islam, op.cit. 149






0 komentar:
Posting Komentar