Perkembangan Pemikiran Islam Pada Masa Rasulullah Saw Atau Periode Kenabian
Fase pemikiran pada masa Rasulullah dimulai sejak Allah Swt mengutus nabi Muhammad Saw membawa wahyu berupa al-Qur’an ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada hari Jumat 17 Ramadan tahun ketiga belas sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. Wahyu terus turun kepada baginda Rasulullah Saw di Mekkah selama tiga belas tahun dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah dan ditempat-tempat lain setelah hijrah selama sepuluh tahun, sampai baginda Rasulullah Saw wafat pada tahun 11 hijriah. Jadi secara keseluruhan fase ini berlangsung selam dua puluh tiga tahun.
Konsep pemikiran pada masa ini diwakili oleh wahyu pertama "iqra' ". Pemikiran ini kemudian disebarkan oleh rasulullah saw dan para sahabatnya. pemikiran pada fase ini masih murni, hal ini dikarenakan pemikiran islam pada masa ini hanya bersumber pada wahyu yang terbaca, yaitu al-Qur’an dan wahyu yang tidak terbaca, yaitu Sunnah Nabawiyyah. Pemikiran islam islam masa ini disandarkan pada kemurnian akhlak Rasulullah dan utamanya wahyu. jadi tidak ada pertentangan, karena setiap ada persoalan, langsung diajukan dan dijawab oleh Rasulullah Saw. sehingga Nabi Saw jadi sentral ilmu. Namun jika Nabi Saw tidak ada di tempat, maka para sahabat berijtihad sendiri kemudian mengembalikan keputusannya kepada Rasulullah Saw. untuk ditetapkan atau dibatalkan.
Perkembangan Pemikiran Islam Pada Periode Sahabat (Khulafâ al-Rasyidin)
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw tahun 11 H, sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah ditangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam. Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.
Faktor-Faktor Yang Memicu Geliat Pemikiran Islam Pada Periode Ini
Sebagaimana yang disebutkan pada pendahuluan tadi bahwa ada dua faktor yang memcu geliat pemikiran islam pada fase ini, yaitu:
1. terdapatnya masalah-masalah yang tidak ditemukan pada masa Rasulullah. Seperti masalah khilafah; apa syarat-syaratnya, batasan-batasannya? juga orang yang tidak mau berzakat, apakah murtad atau berdosa.
2. Disamping permasalahan interen seperti murtad tersebut, juga di sebabkan hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam dan seiring dengan perubahan kondisi sosial pada masa itu. Atau biasa dikatakan adanya interaksi orang arab dan non arab.
Sebab-sebab perbedaan pendapat pada masa sahabat
Dalam berijtihad para sahabat tidak jarang berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Lingkungan tempat mereka hidup dan menetap berbeda-beda. Demikian pula kemaslahatan dan kebutuhan yang menjadi dasar pertimbangan dalam menerapkan hukum bertingkat-tingkat juga, misalnya Abdullah bin Umar yang tinggal dan menetap di Madinah tidak mengalami seperti yang dialami oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan di syam. Demikian juga tidak mengalami seperti apa yang dialami oleh Abdullah bin Mas’ud yang hidup dan menetap di Kuffah.
2. Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa. Ada orang yang paham dengan bahasanya sendiri, istilah-istilah asing yang ada dan cara pemakaiannya, tetapi ada juga yang tidak bisa. Misalnya, yang ditawarkan oleh Umar bin al-Khaththab ketika ia membaca firman Allah dalam khutbahnya, atau Allah akan mengadzab mereka disebabkan mereka menghina (takhawwufin), kemudian Umar bertanya kepada para hadirin tentang makna takhawwifin, “apa pendapat kalian tentang ayat ini dan apa arti takhawwuf itu?” Lalu berdirilah seseorang yang sudah lanjut usia dari kabilah Huzail dan berkata: “ ini bahasa kami dan takhawwuf artinya menghina (tanaqqush)”, Umar berkata, “apakah orang Arab tahu ini dalam sya’ir mereka?” Ia menjawab, “ya”, dan ia pun menyebutkan sebuah bait sya’ir untuk memperkuat ucapannya. Umar berkata: “Jagalah sya’ir kalian dan kalian tidak akan tersesat.” Para Sahabat bertanya: “Apa itu sya’ir (diwan) kami?” Umar menjawab: “Sya’ir Jahiliyah, sebab didalamnya ada penafsiran untuk kitab kalian.”
3. Perbedaan dalam menafsirkan ayat al-Quran karena kebanyakan al-Quran berisi ayat-ayat dhanni (dalil yang memiliki makna lebih dari satu) sebagaimana firman Allah QS Al-Baqarah ayat 228. Dalam memahami lafal quru’ yang terdapat didalamnya para sahabat berbedada pendapat mengenai masa tunggu (iddah) wanita yang diceraikan suaminya apakah tiga kali bersih atau tiga kali haidh?
4. Perbedaan penerimaan hadits karena setiap sahabat memeroleh jumlah hadits yang tidak sama dan sunnah Nabi saw, yang telah tersebar di kalangan umat Islam belum terbukukan dan belum ada consensus untuk menghimpun sunnah dalam satu koleksi yang dijadikan sebagai pedoman bersama.
Namun demikian perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan di kalangan para sahabat. Perbedaan itu ditanggapi dengan bijaksana. Perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa (fitrah) dan rahmat bagi manusia. Hal inilah yang patut kita teladani dalam menyikapi segala perbedaan.
Metode Pengayaan Masalah (Thuruqu’ al-Istinbâth) Pada Periode Ini
Para sahabat dalam menetapkan suatu hukum selalu berpedoman pada al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum Islam pertama. Namun bila tidak dijumpai dalam al-Quran dan hadits, para sahabat menggunakan ijtihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.
Para sahabat sangat berhati-hati dalam menggunakan akal (ra’yu). Kebanyakan mereka mencela ra’yu. Yang mereka cela bukanlah apa yang mereka lakukan, tetapi mereka mencela apabila mengikuti hawa nafsu dalam berfatwa tanpa bersandar pada pokok agama. Dengan demikian, pada masa sahabat ada empat sumber hukum, yaitu:
Al-Quran sebagai pegangan (landasan)
As-Sunah
Qiyas dan ra’yu (pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
Ijma’ yang bersandar pada al-Quran, Sunah dan qiyas.
Alasan para sahabat melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasulullah melakukan ijtihad bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz, “Dengan apa engkau menghukumi sesuatu?”Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Kitab Allah.” Kemudian Rasul bertanya lagi, “Jika tidak kamu jumpai dalam Kitab Allah?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Sunnah Rasulullah.” Dan Rasul bertanya lagi, “Dan jika kamu tidak menjumpai dalam Sunnah Rasulullah?” Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasul membenarkannya seraya memuji Allah atas limpahannya Taufik-Nya.
Hal ini bisa dilihat dari contoh berikut:
Di ceritakan dalam riwayat yang dikemukan al Baghawi dalam kitabnya “Masahih as-Sunnah”, ia menuturkan “Abu Bakar, kalau dihadapkan suatu kasus perselisihan kepadanya, maka beliau mencari ketetapan hukumnya dalam al Qur’an. Kalau beliau mendapat ketetapan hukumnya dalam al Qur’an, maka beliau memutuskan perkara meraka dengan ketetapan menurut al Qur’an. Jika tidak ditemukan dalam al Qur’an beliau menetapkan ketetapan hukumnya menurut ketetapan Rasulullah SAW dalam sunnah, kemudian jika mendapat kesulitan beliau berkonsultasi dengan sesame sahabat, kemudian berkata “telah dihadapkan kepadaku suatu permasalahan, apakah di antara kalian ada yang mengetahui bahwa nabi telah menetapkan hukumnya perihal masalah seperti ini?.Adakalanya sekelompok sahabat berkumpul dan menyebutkan bahwa nabi SAW pernah menetapkan hukumnya. Kemudian Abu Bakar berkata: “segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di antara kita orang yang menghafal sunnah nabi kita”. Begitu pula dengan Umar, namun langkah ke tiga umar, setelah tidak ada di al-qur'an dan sunnah maka dia akan melihat pada keputusan Abu Bakar. Dan pemuwasyaratan yang dilakukan Umar lebih terperinci, dimana ketika terjadi perbedaan pendapat, maka Umar akan bermusyawarah lagi dengan orang yang berbeda pendapat itu sampai tidak terjadi perbedaan dan tercapai satu kepahaman.
0 komentar:
Posting Komentar