Kalam (baca: Khitâb) Allah SWT pada hakikatnya bukan hanya al-Qur`an dan Sunnah saja, namun juga meliputi Ijmâ’ dan Qiyâs. Sangat jelas bahwa al-Qur`an adalah kalam Allah, baik lafadz maupun maknanya. Dan, Sunnah termasuk wahyu Allah secara makna, sedangkan lafadznya berasal dari Nabi Muhammad SAW. Maka, al-Qur`an disebut sebagai wahyu al-Matlu dan Sunnah sebagai wahyu Ghoiru Matlu.
Adapun terkait Ijmâ’, Nabi Muhammad SAW berkata : ”umatku tidak akan bersepakat dalam kesalahan”. Hadits ini merupakan dalil Ijmâ’. Dan Qiyâs merupakan sumber hukum Islam yang dihasilkan dari sebuah proses ijtihad. Pada dasarnya, Ijmâ’ dan Qiyâs sama-sama dihasilkan melalui proses ijtihad. Bedanya, jika Ijmâ’ merupakan kesepakatan para mujtahidîn (bersifat kelompok), maka Qiyâs bisa dilakukan oleh seorang mujtahid (bersifat personal).
Lalu ada sebuah pertanyaan,”mengapa Qiyâs termasuk khitâb Allah, padahal ia dihasilkan dari ijtihad yang memungkinkan terjadinya kesalahan?”
Memang, Qiyâs dihasilkan dari sebuah ijtihâd (sebuah proses usaha dalam menghasilkan hukum tertentu). Jika ijtihâd itu benar, maka secara dzohir ia termasuk hukum Allah. Dan jika ijtihâd itu salah, maka tidak dianggap sebagai hukum Allah SWT. Karena, Allah SWT terbebas dari pada kesalahan.
Dengan ini, jelas sangat dibutuhkan sebuah kemampuan yang baik dalam melakukan sebuah ijtihâd, ber-istinbât (menggali) hukum dari sumber-sumbernya. Karena jika kemampuan tersebut tidak dimiliki dalam diri sebagian manusia, akan berakibat terjadi banyak permasalahan yang muncul tentang keagamaan, karena ijtihad adalah titik penghubung antara khithab Allah dan umat-Nya.
Ilmu yang mempelajari bagaimana metode serta cara mengambil hukum dari sumbernya, bagaimana menjadi seorang mujtahid yang memiliki kababilitas yang baik, dan bagaimana menggali sebuah hukum sebagai solusi qhodhiyah mu’ashiroh yang muncul? Semua itu terangkum dalam disiplin ilmu yang disebut dengan Ushul Fiqih. Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba memaparkan mabadi’ ilmu ushul fiqih, yang selengkapnya sebagai berikut!
Pengertian Ilmu Ushul Fiqih
Pengertian Ilmu Ushul Fiqih
Pengertian ushul fiqih dapat dibagi menjadi dua. Ushul fiqih secara susunan idhofi, dan ushul fiqih sebagai ‘alam yaitu ilmu yang berdiri sebagai disiplin ilmu tersendiri atau laqoby.
Ushul fiqih secara susunan idhofi
Ushul fiqih secara susunan idhofi
Dikatakan sebagai susunan idhofi, karena ushul dan fiqih jika dipisahkan memiliki arti masing-masing. Maka penulis mencoba menguraikan arti ushul dan arti fiqih.
a. Ushul merupakan jama’ dari kata al Ashlu, yang secara bahasa berarti :
ما بتنى عليه غيره
Sedangkan secara istilah al Ashlu memiliki beberapa arti, diantaranya :
الصورة المقيس عليها
Suatu asal hukum yang terdapat dalam Al-Qur`an. Contoh : khomr
الرجحان
Sesuatu yang dibenarkan. Contoh : al ashlu fi al kalam al haqiqoh.
القاعدة المستمرّة
Sebuah qaidah yang terus menerus (tetap). Contoh : ibahatul maitah lil mudhthorri ‘ala khilafi adz dzohir.
الشيء المستصحب
Yaitu tetapnya sebuah hukum seperti yang telah ada. Contoh : al ashlu baqa’u ma kana ‘ala ma kana.
الدليل
Yaitu sebagai dalil landasan suatu hukum (sumber hukum). Contoh : Al-Qur`an, Sunnah.
b. Al fiqhu, secara bahasa berarti al ilmu dan al fahmu . Sedangkan secara istilah :
b. Al fiqhu, secara bahasa berarti al ilmu dan al fahmu . Sedangkan secara istilah :
العلم بالاحكام الشرعيّة العمليّة المكتسب من أدلّتها التفصيليّة
Keterangan sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya.
Ushul fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu yang tersendiri. Atau yang sering disebut dengan makna Laqobi.
Ada beberapa pengertian tentang ushul fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu. Diantaranya :
Al Imam ar Rozy :
مجموع طرق الفقه على سبيل الاجمال وكيفية الاستدلال بها وكيفية حال المستدل بها.
Imam al Baidhowi :
معرفة دلالة الفقه اجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفد
Ibnu Hajib :
العلم بالقواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام الشرعيّة الفرعيّة من أدلّتها التفصيليّة
.
Objek Pembahasan Ushul Fiqih
Menurut para ahli manthiq, bahwa objek setiap ilmu adalah segala hal yang dibahas di dalamnya. Hal disini terdiri dari sesuatu yang fitrah untuk menjadi pembahasan, bagian dan lain sebagainya. Maka objek pembahasan ushul fiqih sesuai dengan pendapat para ulama’, hanya berkisar antara ad Dalil al Kulli dan al Hukmu al kulli.
Ad dalil al kulli adalah bentuk-bentuk umum dari pada dalil-dalil yang terdiri dibawahnya berbagai dalil juz’i seperti al ‘amru, an nahyu, al ‘am, al muthlaq, al Ijma’ as shorikh dan al Ijma’ sukuti. Sedangkan al hukmu al kulli adalah bentuk-bentuk hukum yang bersifat umum dimana terdiri dibawahnya beberapa hukum juz’i. Seperti ijab, tahrim, mandub, shihhah, buthlan dan lain sebagainya.
Selain itu, dalam muqoddimah kitab Nihayatussul karangan Al Isnawi, diterangkan tentang pembahasan dalam ilmu ushul fiqih meliputi tiga hal yang sesuai dengan devinisi dari Imam al Baidhowi, yaitu :
Mengetahui dalil-dalil syar’i secara global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil tersebut, dan mengetahui sifat serta syarat-syarat seorang mujtahid.
Catatan : pada dasarnya objek pembahasan ushul fiqih kesemuanya itu, tidak memiliki perbedaan yang mendasar. Sedangkan objek pembahasan ilmu fiqih adalah fi’lul mukallaf.
Al Ghoyah al Maqshudah/ Tujuan dari pada Ushul Fiqih
Tujuan adanya ilmu ushul fiqih sesuai kesepakatan para ulama’ adalah penerapan qaidah dan teori-teori atas dalil-dalil yang detail(tafshil) agar sampai kepada hukum-hukum yang menunjukkannya.
Catatan : sedangkan tujuan dari ilmu fiqih adalah penerapan hukum-hukum syar’i terhadap perbuatan manusia.
Istimdad Ilmu Ushul Fiqih
Para ulama’ ushul menyebutkan bahwa istimdad ilmu ushul fiqih ada tiga hal. Diantaranya, ilmu kalam, ilmu bahasa arab dan ahkam syar’iyyah.
Ilmu kalam
Hubungannya yaitu sebelum kita lebih jauh mempelajari ilmu ushul fiqih ataupun ilmu yang lain, maka kita hendaklah memiliki aqidah yang lurus, mengimani Allah SWT beserta sifat-sifatnya. Dan meyakini kebenaran rosul-Nya sebagai penyampai risalah Ilahiyyah.
Bahasa Arab
Bahasa Arab
Hubungannya bahwa bahasa arab adalah bahasa Al-Qur`an yang merupakan sumber hukum nomer satu. Dan semua hal pembahasan ilmu ushul fiqih pada dasarnya diambil dari Al-Qur`an. Maka, bahasa arab ini sangat penting kedudukanya dalam mempelajari ilmu ushul fiqih.
Al Ahkam as Syar’iyyah
Al Ahkam as Syar’iyyah
Keterkaitan antara ushul fiqih dengan ahkam syar’iyyah yaitu sebelum kita mengetahui maudhu’ ilmu ushul fiqih, hendaknya kita memiliki tashowwur atau gambaran mengenai bagaimana hukum syar’i dan pembagiannya.
Hukum Mempelajari Ilmu Ushul Fiqih
Meminjam kata-kata dari makalah KAJIAN REGULER MISYKATI yang ditulis oleh ust. Munafidzu Ahkamirrohman, Lc. Yang sesuai dalam buku Al Hukm al Syar’i ‘inda al Ushuliyyin, karangan Dr. Ali Jum’ah. Bahwa hukum mempelajari ilmu ushul fiqih adalah wajib kifayah.
Kemunculan dan Perkembangan Ilmu Ushul Fiqih
Ushul fiqih ada semenjak adanya fiqih. Maka kapan pun fiqih itu muncul, ushul fiqih pun disana ada. Karena ushul fiqih adalah rangkuman qaidah dan kriteria sebagai patokan fiqih. Hal tersebut adalah termasuk komponen utama dalam ushul. Akan tetapi fiqih lebih dahulu dibukukan dari pada ushul fiqih, walaupun keberadaannya bersamaan dengan fiqih. Dalam artian, fiqih telah dibukukan, permasalahan, qaidah dan bab-bab fiqih telah ada sebelum dibukukannya ilmu ushul fiqih.
Hal ini bukan berarti ilmu ushul fiqih baru muncul setelah dibukukannya ilmu ini. Atau bahwa para ulama’ belum mempunyai sebuah qaidah, kriteria ushul dalam menentukan hukum fiqih. Namun yang terjadi adalah bahwa para ulama’ mulai dari sahabat Nabi SAW telah memiliki kemampuan pengambilan hukum sesuai dengan kriteria ini. Mereka waktu itu sama sekali tidak membutuhkan kriteria ini. Dengan kebersamaan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, menjadikan mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dalam masalah pengambilan hukum.
Sebagaimana biasanya bahwa sesuatu yang ada maka dibukukan. Dan pembukuan adalah sebagai bukti adanya sesuatu itu, bukan tanda awal munculnya sesuatu. Sebagi contoh, dalam ilmu bahasa.
Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW adalah penyampai wahyu dari Allah SWT kepada hamba-Nya. Maka pada masa ini belum membutuhkan ushul fiqih. Karena Nabi Muhammad SAW sebagai marja’ bagi para sahabat ketika mendapati sebuah permasalahan. Maka waktu itu tidak ada ijtihad. Jika tidak ada ijtihad, maka tidaklah membutuhkan istimbat hukum dan qaidah.
Masa Sahabat
Masa Sahabat
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW terjadilah berbagai persoalan keagamaan, yang memaksa para sahabat untuk melakukan pengambilan hukum dari sumbernya atau yang kita sebut dengan ijtihad. Namun para sahabat belum membutuhkan sebuah kriteria ijtihad, dan tatacara beristimbat. Karena para sahabat memiliki kemampuan yang sangat baik dalam pengambilan hukum dari sumbernya. Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Diantaranya, kebersamaan para sahabat dengan Nabi Muhammad SAW sehingga mereka kebanyakan mengetahui Asbabu an Nuzul, wurudu al Hadits, ‘illatu at Tasyri’ dan hikmahnya. Sehingga mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal keagamaan.
Masa Tabi’in
Pada masa ini keadaan masih sama dengan sebelumnya, masa sahabat. Karena tabi’in adalah orang yang langsung bertemu dengan sahabat. Maka mereka mendapatkan bekal ilmu agama langsung dari para sahabat. Selain kemurnian dan kesungguhan para tabi’in, mereka juga mendapat lisensi dari Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya masa adalah masaku(termasuk sahabat), kemudian masa setelahnya(tabi’in) dan kemudian masa setelahnya(tabi’i tabi’in). Sehingga mereka, para tabi’in, juga memiliki kemampuan tinggi dalam pengambilan sebuah hukum dari sumbernya sebagaimana para sahabat. Maka belum ada kebutuhan untuk membukukan ushul fiqih.
Masa Tabi’i Tabi’in
Setelah habisnya masa tabi’in, ekspansi Islam sangat meluas. Dan lebih banyak terjadi masalah-masalah yang baru dengan bercampurnya bangsa selain arab ke dalam Islam. Maka banyak sekali ijtihad dari para mujtahid, munculnya berbagai cara dalam beristimbat hukum dan meluasnya munaqosah dan perdebatan yang digawangi oleh Madrosatu ar Ro’yi dan Madrosatu al Hadits. Yang menjadikan kesalahpahaman hingga menyalahkan satu dan lainnya mengenai perdebatan ini. Maka pada masa ini sangat dibutuhkan adanya pembukuan sebuah qaidah dan kriteria serta tatacara beristimbat atau yang kita sebut dengan ilmu ushul fiqih.
Diakatakan bahwa yang pertama kali menyusun ushul fiqih dalah Abu Yusuf Shohibu Abi Hanifah. Akan tetapi karangan beliau tidak sampai kepada umat sesuadahnya.
Dan yang paling diakui bahwa penyusun ilmu ushul fiqih pertama kali adalah Muhammad bin Idris as Syafi’i, dengan karyanya Ar Risalah. Wafat pada 204 H.
Kitab Ar Risalah ini berisikan tentang Al-Qur`an dan penjelasannya terhadap hukum-hukum, penjelasan Sunnah terhadap Al-Qur`an, Ijma’, Qiyas, nasikh dan masukh, al ‘amr, an nahyu berhujjah dengan Khabar wahid dan sebagainya dari pembahasan-pembahasan ushuliyyah.
Sebagaimana setiap sesuatu yang ada, berjalan dari masa kecilnya dan berkembang. Maka berawal dari Ar Risalah, berkembang setelahnya beberapa kitab ushul fiqih yang mensyarahi ar Risalah dari abad ke tiga hingga ke empat. Akan tetapi karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita.
Corak dan Metode Ulama’ dalam Menyusun Ilmu Ushul Fiqih
Dalam menyusun sebuah metode ushul fiqih, para ulama’ pun tidak dalam metode yang sama. Setidaknya ada dua metode yang muncul pada masa pambukuan ilmu ini, dan muncul metode lain(muta’akhirin). Dua metoe awal ini adalah metode Mutakallimin dan Hanafiyyah.
1. MetodeUlama’ Mutakallimin (as Syafi’iyyah)
1. MetodeUlama’ Mutakallimin (as Syafi’iyyah)
Kelompok ini terdiri dari ulama’ syafi’iyyah dan ulama’ malikiyyah. Yaitu memisahkan qaidah-qaidah ushuliyyah secara tersendiri, tanpa mempertimbangkan furu’ antara suatu madzhab dan yang lainnya. Kelompok ini lebih condong kepada pengambilan dalil ‘aqli.
Toriqoh Mutakallimin juga ditandai dengan pengokohan sebuah qaidah yang berdasarkan dalil mantiqi, tanpa adanya ta’asshub terhadap madzhab tertentu. Sebagaimana yang sering dibiasakan oleh Mu’tazilah, mereka selalu menggunakan dalil ‘aqli. Dengan ini, maka qaidah ini berlaku sebagai qaidah yang menghakimi furu’-furu’ yang ada di bawahnya dan tidak tunduk terhadap furu’-furu’. Maka dalam kitab-kitab yang mengikuti thoriqoh ini tidak memperbanyak furu’-furu’. Kalaupun ada biasanya hanya sebatas contoh untuk mempermudah pembaca dalam memahami qaidah.
Kitab-kitab Penting yang Dikarang Menurut Metode Mutakallimin
a. Al ‘Ahdu atau Al ‘Amdu yang dikarang oleh Al Qodhi Abdul Jabbar bin Ahmad al Hamdzani al Mu’tazili. Wafat 451 H.
a. Al ‘Ahdu atau Al ‘Amdu yang dikarang oleh Al Qodhi Abdul Jabbar bin Ahmad al Hamdzani al Mu’tazili. Wafat 451 H.
b. Al Mu’tamad karya Abu Husain al Bashri. Wafat 436 H. kitab ini adalah Syarh dari kitab karya al Qodhi Abdul Jabbar.
c. Al Burhan karya Imam Haromain; Abdul Malik bin Yusuf al Juwaini. Wafat 478 H.
d. Al Mushtashfa karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghozali. Wafat 505 H. al Ghozali adalah murid Imam Haromain.
Kitab-kitab diatas adalah kitab pokok yang dihasilkan melalui metode mutakallimin. Kemudian keempat kitab diatas diringkas oleh dua imam besar, mereka adalah :
a. Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al Husain ar Rozi. Wafat 606 H. Dengan karyanya kitab Al Mahshul.
b. Saifuddin ‘Ali bin Abi ‘Ali bin Muhammad al ‘Amidy. Wafat 631 H. beliau meringkas dari keempat kitab di atas dan dinamakan kitab Al Ihkam fi Ushul al Ahkam.
Dengan adanya kedua ulama’ ini, maka para ulama’ setelahnya mulai meringkas kembali, dan mensyarahi kedua kitab ini.
Imam Usman bin ‘Umar bin al Hajib, wafat 646 H. Meringkas kitab al Ihkam , dan kitabnya diberi nama Al Mukhtashor al Kabir kemudian kitab ini diringkas kembali oleh beliau dan dinamai kitab Mukhtashor al Muntaha. Dari kitab ini pula, banyak ulama’ setelahnya yang mensyrahi hingga hasyiahnya.
Sedangkan kitab al Mahshul diringkas lebih dari satu, hingga Imam ar Rozi sendiri dan di beri nama al Muntakhob. Sebagaimana al Qodhi Tajuddin Muhammad bin Husain al Armawi. Wafat 656 H. dan diberi nama Al Hashil. Melihat betapa pentingnya kitab ini, dengan ‘ibarah-‘ibarah yang tajam, maka para ulama’ juga banyak yang mensyarah kitab ini, seperti dua ulama’ besar waktu itu :
a. Al Qodhi Abu Abdillah al Qufthi. Wafat 736 H. dan menamai kitabnya Tuhfatu al Washil fi Syarh al Hashil.
b. Al Qodhi Abdullah bin Umar al Baidhowi. Wafat 685 H. dan menamakan kitabnya dengan Minhaj al Wushul ila ‘Ilm al Ushul. Kitab ini juga menjadi perhatian banyak ulama’ dan mulai mensyarahnya hingga lebih dari 40 syarh kitab. Dan yang paling penting dan masyhur diantara syarh kitab Minhaj adalah syarh Imam Isnawi yang dinamakan Nihayat as Sul Syarh Minhaj al Wushul. Wafat 772 H.
2. Metode Ulama’ Hanafiyyah
Para ulama’ Hanafiyyah berbeda dengan ulama’ Mutakallimin. Metode yang mereka terapkan adalah menetapkan qaidah sesuai yang ditunjukkan oleh furu’-furu’. Dinama furu’-furu’ tersebut telah ditinggalkan oleh para imam thoriqoh ini. Mereka akan merubah qaidah jika qaidah tersebut bertentangan dengan furu’yang ditetapkan imamnya.
Walaupun mereka meletakkan qaidah ushuliyah yang terbangun dari pada furu’-furu’ yang ada, namun jika ada perbedaan antara qaidah dan furu’, maka qaidahlah yang akan ditinjau ulang. Dalam kitab-kitab yang dikarang melalui metode ini sangat banyak menyebutkan furu’-furu ataupun masalah far’iyyah. Hal ini lebih ditengarai oleh para Imam-imam Hanafiyyah yang tidak meninggalkan kitab ushul sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafi’i.
Kitab-kitab yang Dikarang Melalui Metode Hanafiyyah
Kitab-kitab yang Dikarang Melalui Metode Hanafiyyah
- Ushul Abi Zaid ad Dabusi. Wafat 430 H.
b. Ushul Abi Bakr Ahmad bin ‘Ali. Yang terkenal dengan Al Jashosh. Wafat 370 H.
c. Ushul Syamsul ‘A’immah al Sarkhosi. Wafat 428 H.
d. Ushul Fakhrul Islam al Bazdawi. Wafat 482 H. kitan ini merupakan kitab yang terbaik sebagai kitab mutaqoddimin.
e. Ushul al Kurkhi, karya Abu al Hasan al Kurkhi. Wafat 430 H.
3. Metode Muta’akhirin
Dengan berjalannya zaman dan berkembangnya keilmuan dalam ushul fiqih, maka ada sekelompok ulama’ yang berusaha menggabungkan kedua metode di atas.
Diantara Kitab-kitab yang Dikarang Melalui Metode Muta’akhirin
a. Badi’u an Nidzom, karya Mudzoffaruddin Ahmad bin Ali as Sa’ati al Baghdadi al Hanafi. Wafat 694 H. di dalamnya terdapat penggabungan antara ushul Bazdawi dan kitab al Ihkam.
b. Tanqih al Ushul karya Ubaidillah bin Mas’ud al Bukhori al Hanafi. Wafat 747 H. di dalamnya terdapat penggabungan antara ushul Bazdawi dan al Mahshul.
c. Jam’u al Jawami’ karya Tajuddin Abdul Wahab bin ali as Subki as Syafi’i. Wafat 771 H.
d. At Tahrir karya Al Kamal bin al Hilal al Hanafi. Wafat 861 H.
Ilmu ushul fiqih terus berkembang dengan adanya kitab-kitab karangan para ulama’ dari ulama’ mutaqoddimin hingga ulama’ muta’akhirin. Kenudian muncul juga kitab Al Muwafaqot karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa as Syathiby. Wafat 780 H. karya-karya ulama’ ushuliyyin belum habis sampai disini.
Ada beberapa kitab ushul yang merupakan kitab untuk mempermudah para mahasiswa yang belajar di Universitas Al Azhar dan majlis ilmu lainnya, seperti :
a. Irsyadu al Fuhul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad al Syaukani. Wafat 1255 H.
b. Ushul al Fiqh karya Muhammad Khudhori Bek. Wafat 1345 H.
c. Ilmu al Ushul karya Abdul Wahab Kholaf.
d. Ushul al Fiqh karya Muhammad Abu Zahroh. Wafat 1974 M.
Demikianlah uraian pengantar ilmu ushul fiqih secara singakat. Dan ini hanyalah sebuah usaha pemindahan materi dari sumber-sumber dan buku ushul fiqih. Semoga Allah memberi manfaat kepada kita semua, amin.
b. Ushul al Fiqh karya Muhammad Khudhori Bek. Wafat 1345 H.
c. Ilmu al Ushul karya Abdul Wahab Kholaf.
d. Ushul al Fiqh karya Muhammad Abu Zahroh. Wafat 1974 M.
Demikianlah uraian pengantar ilmu ushul fiqih secara singakat. Dan ini hanyalah sebuah usaha pemindahan materi dari sumber-sumber dan buku ushul fiqih. Semoga Allah memberi manfaat kepada kita semua, amin.
0 komentar:
Posting Komentar