Selasa, 14 Februari 2012

Perjalanan Panjang


Pada suatu waktu. Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik datang ke Madinah. Beliau ingin bertemu dengan Abu Hazim, yaitu satu-satunya sahabat Rasulullah saw. Yang masih hidup. Kepada Abu Hazim, Khalifah menanyakan tentang bagaimana keadaan seseorang itu pada waktu ia akan meninggal dunia. Maka Abu Hazim pun berkata : “Keadaan orang yang akan meninggal dunia itu ada dua macam. Pertama, seperti perantau yang dipanggil pulang ke kampong halamannya untuk menyaksikan hasil kirimannya yang sudah dibuatkan rumah yang bagus dengan taman yang indah. Foto mengenai semuanya itu telah dikirimkan kepadanya sebelum dia berangkat. Kita dapat bayangkan bagaimana sukacitanya perasaan sang perantau, tentu ia ingin segera mempercepat kepulangannya itu. Apalagi dikhabarkan pula kepadanya, bahwa kedatangannya nanti akan disambut oleh masyarakat dengan riang gembira sebagai perantau yang berhasil. Adapun keadaan yang kedua, adalah seperti penjahat yang lari dari penjara kemudian dia tertangkap kembali. Ia akan diseret, disiksa, dan dilemparkan dengan kejam ke tempatnya semula. Dapat dibayangkan, betapa takut dan ngerinya perasaan orang itu.”

Mendengar penjelasan Abu Hazim itu, kontan Khalifah menangis tersedu-sedu sambil berdoa dengan syahdu : ‘Ya Allah ! Janganlah Engkau jadikan aku di waktu kembali kepada-Mu seperti layaknya seorang penjahat yang melarikan diri kemudia tertangkap kembali’.

Kelompok pertama, menggambarkan orang-orang yang meyakini bahwa suatu waktu mereka akan kembali kepada Allah, mereka berusaha sekuat tenaga menyiapkan bekal yang banyak untuk perjalanan yang amat jauh di alam akhirat. Bekal itu ialah amal saleh dalam jalur hablum-minallah dan jalur hablum-minannas.

Kelompok kedua, mewakili orang-orang yang lalai menyiapkan perbekalan, umur dihabiskannya untuk memenuhi kepuasan hawa nafsu belaka. Mereka gigih mencari fasilitas demi memuaskan kebutuhan nafsu, seperti foya-foya dan mengumbar nafsu syahwat, memiliki rumah seperti istana dan mobil-mobil mewah yang kesemuanya itu hanya untuk prestise saja. Mereka mengukur kesuksesan hidup di dunia ini dari kehebatan fasilitas atau materi yang mereka miliki.

Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (Al-Baqarah: 212)

Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafir pun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (Al-Baqarah: 126)

Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar. (An-Nuur:39)

Seorang ulama besar Islam, Imam Ghazali menuturkan suatu kiasan yang akan dialami oleh setiap manusia di alam akherat nanti. Beliau bertutur setiap manusia kelak akan melintasi jembatan yang dibawahnya terdapat neraka. Jembatan ini dikenal dengan sebutan shiratal mustaqim. Kelak akan ada yang melewatinya secepat kilat, ada yang berlalu seperti angin atau sekencang larinya kuda, dan ada pula yang secepat terbangnya burung. Namun disamping itu ada pula yang hanya berjalan biasa, atau merangkak bahkan ada pula yang hangus menjadi arang.Ada pula yang tersandung hingga terjatuh kedalam neraka. Perbedaan cara ini dikarenakan perbedaan sikap hidup selama di dunia yaitu apakah selalu taat atau sering membangkang pada aturan-aturan Allah SWT.

Shiratal mustaqim bukanlah jembatan seperti di dunia yang dapat ditempuh dengan kekuatan fisik atau kaki. Tetapi jembatan ini hanya dapat diseberangi dengan kekuatan hati. Hati yang selalu membangkang ibarat sepasang kaki yang lumpuh. Sedangkan hati yang selalu taat pada aturan-aturan Allah SWT ibarat sepasang kaki seorang pelari ulung.

Sekali lagi yang perlu kita ingat adalah perjalanan kita masih panjang. Oleh karena itu marilah kita cek kembali perbekalan amal kita masing-masing. Jangan sampai nanti kita terpeleset pada waktu meniti jembatan, sebagaimana yang dikiaskan oleh Imam Ghazali di atas.

0 komentar: