Kamis, 10 Mei 2012

AKHLAK TERHADAP PENGUASA



A. Pendahuluan
Saat menonton TV atau membaca Koran tak jarang kita temuai aksi demonstrasi yang marak terjadi di kota-kota besar maupun daerah lainnya di Indonesia. Akibatnya laju kendaraan menjadi terhambat dan jalan-jalan menjadi macet. hal tersebut bukan merupakan pemandangan yang asing lagi. tahukah kita bahwa salah satu penyebab aksi demonstrasi karena adanya rasa tidak puas masyarakat pada keputusan/kebijakan pemerintah (pemimpin). Lalu dalam islam apakah hal ini mubah (dibolehkan)? hal ini tentunya terkait interaksi dengan pemimpin.
Dalam kehidupan bernegara, Islam juga telah mengatur dan mengajarkan pada umatnya. bagaimana yang dipimpin berakhlak dengan baik kepada pemimpin, bagaimana pemimpin berakhlak kepada orang yang dipimpinnya. Semuanya dijelaskan dalam banyak ayat dalam Al-Qur’an dan Hadits, yang disertai dengan contoh dari Rasulullah, sahabat, tabiin, tabit tabiin serta para ulama hingga sekarang.
B. Pembahasan
Islam mengatur bagaimana seharusnya hubungan di antara rakyat dengan penguasa, agar berjalan dengan harmoni sehingga terbentuk sebuah susunan/jalinan masyarakat yang diidam-idamkan. Tujuan mulia ini akan terwujid jika hubungan rakyat dan penguasa terjalin dengan sangat baik. Dalil-dalil yang menerangkan usul yang agung ini di antaranya firma Allah s.w.t.;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisihan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Surah an-Nisa [4]: 59)

Rasulullah saw. juga bersabda;
 2955- حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ ، قَالَ : حَدَّثَنِي نَافِعٌ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ صَبَّاحٍ ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ ، وَلاَ طَاعَةَ
Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw. : seorang muslim wajib mendengar dan  ta’at pada pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib ta’at.(HR. Bukhari, 4/2955, an-Nasai, 7/4206, Ibnu Majah, 4/2864, Abu Daud 2/2628 )
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah menyatakan: “Ulil Amri mencakupi dua golongan, yaitu ulama dan penguasa.” (Majmu’ Fatawa, 5/240)


Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani Rahimahullah menyatakan: “Hadis ini menunjukkan wajibnya taat kepada penguasa, hal itu berlaku dalam perkara yang bukan maksiat. Hikmah taat kepada penguasa adalah agar menjaga persatuan kesatuan, hingga menhindari perpecahan dan kehancuran.” (Fathul Bari, 13/112)

Islam sangat memuliakan penguasa, ini dikeranakan beratnya tugas yang mereka tanggung/pikul. Tidak boleh bagi siapa pun untuk merendahkan penguasa, baik itu dengan celaan, ghibah (umpatan) atau yang selainnya. Rasulullah saw. melarang keras sikap merendah-rendahkan penguasa, Beliau bersabda;
                                                                                                                          
2224 - حدثنا بندار حدثنا ابو داود حدثنا حميد بن مهران عن سعد بن أوس عن زياد بن كسيب العدوي قال كنت مع أبي بكرة تحت منبر ابن عامر وهو يخطب وعليه ثياب رقاق فقال أبو بلال : أنظروا إلى أميرنا يلبس ثياب الفساق فقال أبو بكرة اسكت سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول من أهان سلطان الله في الأرض أهانه الله (رواه الترمذي)
 قال أبو عيسى هذا حديث غريب قال الشيخ الألباني : صحيح

Ziyad bin Kusaib al-Adawi berkata: “Aku pernah bersama Abu Bakrah duduk di bawah mimbar Ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan memakai pakaian tipis. Abu Bilal berkata: ‘Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik!’ Abu Bakrah berkata: “Diamlah! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang menghina penguasa Allah di muka bumi, Allah akan menghinakannya.” )HR. Tirmidzi, 4/2224 Abu Isa berkata hadits ini adalah hadits yang ghorib, Syekh Albani menshahihkanya(

         Sahl bin Abdullah at-Tustari yang telah berkata: “Manusia akan sentiasa berada dalam kebaikan selama mereka menghormati penguasa dan para ulama. Apabila mereka mengagungkan dua golongan ini, Allah akan memperbaiki dunia dan akhirat mereka. Apabila mereka merendahkannya, bererti mereka telah menghancurkan dunia dan akhirat mereka sendiri.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/260)

          Larangan mencela penguasa bukan hanya kerana memelihara kehormatan kepada mereka semata, akan tetapi demi membendung dan mencegah kerusakan/keburukan yang besar. Tidak mustahil bahawa diawali dengan soal cela-mencela akan berakhir dengan pemberontakan. lantas bagaiman cara yang syar’i dalam mengingkari kemungkaran penguasa jika terdapat pemimpin yang zalim? pemimpin yang memementingkan kehidupan pribadi daripada kehudupan rakyat? Sedangkan di dalam islam ada kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar (Surah Ali Imran [3]: 104)
Hal yang perlu difahami dengan baik yaitu tidak terburu-buru mengikuti nafsu amar ma’ruf nahi mungkar yang akan menghasilkan kepada kerusakan yang lebih parah disebabkan kaedah yang salah dan menjauhi Sunnah. Rasulullah saw. bersabda:
 7054- حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ ، عَنِ الْجَعْدِ أَبِي عُثْمَانَ ، حَدَّثَنِي أَبُو رَجَاءٍ الْعُطَارِدِيُّ قَالَ : سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً.
Barangsiapa yang melihat sesuatu yang ia benci dari penguasanya maka hendaklah ia bersabar. Barangsiapa yang meninggalkan jama’ah walau sejengkal maka dia mati dalam keadaan jahiliyyah. (HR. Bukhari, 9/7054)

Di hadis lain Nabi saw. bersabda (yang artinya):  “Sesungguhnya akan ada setelahku para pemimpin yang mementingkan diri mereka sendiri, perkara-perkara yang kalian ingkari.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: “Hendaklah kalian menunaikan kewajiban kalian dan mintalah hakmu kepada Allah. (HR. Bukhari 13/5, Muslim 3/1472)

         Imam Ibnu Abil Izzi rahimahullah berkata: “Adapun taat kepada penguasa tetap wajib sekalipun mereka zalim, kerana keluar dari ketaatan terhadap mereka akan menimbulkan keburukkan yang banyak melebihi kezaliman mereka. Bahkan sabar di atas kezaliman penguasa adalah penghapus dosa, melipat gandakan pahala, kerana tidaklah Allah menimpakan hal itu kecuali kerana keburukkan perbuatan kita sendiri. Balasan itu setimpal dengan perbuatan. Wajib bagi kita untuk bersunguh-sungguh meminta ampun kepada Allah, taubat dan memperbaiki diri. Maka apabila rakyat ingin membebaskan diri dari kezaliman penguasa hendaklah mereka mengawali dengan meninggalkan perbuatan zalim pada diri mereka sendiri.” (Syarah al-Aqidah at-Thohawiyyah, 2/542).

Hal lain yang diperintahkan dalam Islam jika mendapati penguasa melakukan sesuatu tidak sesuai dengan syariat Islam ialah menasihati secara rahasia dan tidak dengan terang-terangan (dipertontonkan), tidak menyebarkan keburukannya di mimbar-mimbar bebas, di tempat-tempat umum, di pentas ceramah, media-media massa dan cetak, majalah-majalah dan risalah-risalah, demonstrasi, atau apa saja dari cara-cara yang tidak debenarkan. Jika cara rahasia tidak dapat ditempuh maka hendaklah dengan cara menyindir misalnya jika penguasa korupsi hendaknya hanya menyebutkan keharaman korupsi tanpa menyebutkan identitas secara langsung penguasa tersebut. Rasulullah saw. Bersabda yang artinya: Barangsiapa yang hendak menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia memegang tangannya, kemudian bersendirian dengannya. Apabila penguasa itu ingin menerima nasihat, maka itulah yang diinginkan. Apabila tidak, sesungguhnya dia (yang menasihati) telah menunaikan kewajibannya. (HR., Ahmad 3/403, Hakim 3/290, hadis ini disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Dhilalil Jannah, hal. 507)

          Memberontak terhadap penguasa hukumnya adalah haram walau bagaimanapun keadaan dan keburukkan penguasa. Rasulullah saw. bersabda;

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ عَنْ رُزَيْقِ ْنِ حَيَّانَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ قَرَظَةَ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَة
Sebaik-baiknya penguasa adalah yang kalian mencintainya dan mereka mencintai kalian. Kalian mendo‘akannya dan mereka mendo’akan kalian. Seburuk-buruknya penguasa adalah yang kalian membencinya dan mereka pun membenci kalian, kalian mencacinya dan mereka mencaci kalian.” Rosulullah ditanya: “Wahai Rasulullah tidakkah kita memberontak dengan pedang?” beliau menjawab: “Jangan, selama mereka masih menegakkan solat.” Apabila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari penguasa kalian, maka bencilah perbuatannya dan janganlah kalian mencabut ketaatan dari mereka. (Hadis Riwayat Muslim, 3/1481)

         Sungguh sejarah telah mencatat kekejaman seorang yang bernama Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqofi. Dia telah banyak membunuh jiwa, sehingga sahabat yang mulia Abdullah bin Zubair radhiyallahu 'anhu terbunuh. Bagaimana Sikap para sahabat yang lain, apakah mereka menyusun kekuatan untuk memberontak? Ternyata tidak sama sekali, bahkan mereka tetap menganjurkan untuk mendengar dan taat. Zubair bin Adiy berkata: “Kami mendatangi Anas bin Malik mengeluhkan perihal Hajjaj. Anas menjawab: “Bersabarlah, kerana tidaklah datang sebuah zaman kecuali yang setelahnya akan lebih buruk sehingga kalian berjumpa dengan Rabb kalian, aku mendengar ini dari Nabi kalian.” (
HR. Bukhari, 13/20)

Abu Utsman Said bin Ismail berkata: “Nasihatilah penguasa, perbanyakkan mendo’akan kebaikan bagi mereka dengan ucapan, perbuatan dan hukum. Kerana apabila mereka baik, rakyat akan baik. Janganlah kalian mendo’akan keburukkan dan laknat bagi penguasa, kerana keburukkan mereka akan bertambah dan bertambah pula musibah bagi kaum muslimin. Do’akanlah mereka agar bertaubat dan meninggalkan keburukkan sehingga musibah hilang dari kaum muslimin.” (Su’abul Iman, 13/99)

C. Kesimpulan

Menolak keburukan dengan keburukan yang lebih besar menurut ijma muslimin, (sesungguhnya) hal itu tidak dibolehkan. Dan jika terdapat kelompok yang ingin mengganti penguasa yang melakukan kekufuran nyata (itu) dan mereka memiliki kemampuan untuk melengserkannya, kemudian dapat menggantikannya dengan penguasa yang shalih dan baik tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar atas kaum muslimin, dan tidak menimbulkan keburukan yang lebih besar dari keburukan penguasa itu sendiri, maka, tidaklah mengapa melakukan pemberontakan. Sedangkan apabila pemberontakan itu akan mengakibatkan kerusakan yang besar, (menyebabkan) hilangnya rasa aman serta kezhaliman terhadap orang lain, (menimbulkan) pembunuhan terhadap orang yang tidak berhak untuk dibunuh dan berakibat menimbulkan kerusakan lain yang lebih besar, maka tidak dibolehkan melakukan pemberontakan. Akan tetapi wajib untuk bersabar, mendengar, taat dalam kebaikan, menasihati penguasa, mendoakan kebaikan bagi mereka, bersungguh-sungguh dalam mengurangi keburukan dan meminimalkan keburukan, dan (juga) memperbanyak kebaikan. Demikian inilah jalan dan cara yang benar yang wajib ditempuh. Dalam cara ini terdapat maslahat (kebaikan) bagi kaum muslimin secara umum. Juga cara inilah yang bisa meminimalkan keburukan dan memperbanyak kebaikan, juga bisa memelihara rasa aman dan keselamatan kaum muslimin dari keburukan yang lebih banyak. Wallahu a’lam bis shawab

Sumber Tulisan

Al-Qurtubi, Syamsuddin, al-Jami’ liahkam al-Qur’an: Tafsir al-Qurtubi, Kairo: Dar al-Kitab al-Mishriyyah, 1964.
Baihaqi, Abu Bakar Al, Su’abul  Iman, India: Dar as-Salafi di Mumbai, 2003, edisi Dr. Abd al-‘Ali Abd al-Hamid hamid.
Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al, al-Jami’ as-Shahi, Kairo: Dar as-Sya’bi, 1987.
Daud Sulaiman bin al-Asy’atsi as-sijistany, Abu, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tth, edisi Shalahuddin al-Bani
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qura'an Terjemah dan Penjelasan Ayat Ahkam, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002.
Hajar al-‘Asqalani, ibnu, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Ma’rifah, edisi Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadl al-Asqalani as-Syafi’i.
 Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Ttp, Maktabah Abu al-Ma’aty, Tth.
Nasa’i, Ahmad bin Syuaib Abu Abd ar-Rahman An, al-Mujtaby min as-Sunan, Halb: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah,1986, edisi Abd al-Fattah Abu Gadah.
Taimiyah al-Harani, ibnu, al-Fatawa al-Kubra, Ttp: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987, edisi Muhammad Abd al-Qadir ‘Atha dan Musthafa Abd al-Qadir ‘Atha. 
Tirmidzi as-Salamy, At, al-Jami’ ash-Shahih Sunan at-Tirmidz, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Araby, Tth, edisi Ahmad Muhammad Syakir Dll.

Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Menejemen Dakwah di PUTM



0 komentar: