Sabtu, 12 Mei 2012

EPISTIMOLOGI HUKUM ISLAM


Pendahuluan
            Ilmu-ilmu keislaman sejak awal penyebaran agama ini mengalami dinamika yang progresif.diantara indikator dinamika ilmu-ilmu Islam dalam konteks kekinian adalah berkembangnya berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu tafsir, hadits, tasawuf, kalam, dan ilmu ilmu lainnya yang sudah dikembangkan oleh para ilmuwan muslim dari sejak dulu sampai sekarang.
            Fiqih atau hukum Islam merupakan salah satu bidang study Islam yang paling dikenal dalam masyarakat.[1]Hal ini terkait karena obyek ilmu fiqih berkaitan langsung dengan masyarakat. Selain itu, fiqih sebagai disiplin keilmuan, ilmu fiqih akan senantiasa terus berkembang sesaui dengan perkembangan zaman.[2]
            Epistimologi barasal dari kata epistemeyang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti ilmu,[3]sering diartikan sebagai teori pengetahuan yang meneliti asal, struktur,metode-metode dan kebenaran ilmu pengetahuan. Ada beberapa isu utama dalam bidang epistimologoi ini, yaitu pertama, apa yang dimaksud dengan fiqih?, kedua, apa sumber pengetahuan ini?, ketiga, dari mana asal usul pengetahuan ini?, keempat, apakah pengetahuan yang di peroleh benar?
            Makalah ini bermaksud membahas terhadap salah satu keilmuan Islam yaitu ilmu fiqih dilihat dari sudut pandang epistimologinya. Yakni tentang strukrtur dan cara kerja ilmu fiqih ini. Di samping itu, makalah ini juga untuk memenuhi tugas mid semester pada mata kuliyah filsafat ilmu.

Pembahasan
1.      Pengertian Ilmu Fiqih
      Fiqih berasal dari kata al Fiqh yang menurut bahasa adalah:al Ilmu ma’a al Fahm[4](mengetahui sesuatu dan memahaminya). Sedangkan Fiqih menurut istilah adalah Kumpulan hukum-hukum syara’ yang bertalian dengan perbuatan mukallaf, yang di keluarkan dari dalilnya yang terperinci.[5]Dari pemaknaan Fiqih secara terminology di atas terlihat jelas bahwa obyek ilmu ini berupa perbuatan lahir manusia .
      Di dalam al Qur’an banyak ayat yang berkaitan dengan  kata fiqih, di antaranya yaitu yang terdapat dalam surat at Taubah:122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.(QS. At Taubah:122)
Di dalam hadits Nabi juga di sebutkan:
من يريد الله به خيرا يفقهه في الدين
                “ Barang siapa yang di kehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi-Nya niscaya di       berikan kepadanya pemahaman yang mendalam dalam pengetahuan agama”(HR. at             Thabrani)

2 . Pertanyaan yang ke dua yaitu apa sumber pengetahuan dari ilmu fiqih?
 Kalau melihat dari penjelasan arti fiqih di atas, sudah jelas bahwa fiqih merupakan usaha untuk mencari pengetahuan dari dalil teologis  yang bersifat ilahiyah, maka dapat di ambil sebuah pemahaman bahwa sumber pengethuan  dari ilmu fiqih adalah dalil ilahiyah(wahyu) dan akal. Dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman  wahyu bertindak sebagai sumber pengetahuan .

                Pengetahuan manusia yang di peroleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik , karena seorang yang menerima pengetahuan melalui wahyu merupakan orang yang memiliki otoritas keagamaan yang tinggi yang sering di sebut dengan Nabi. Posisi wahyu dalam agama islam sangatlah sentral, dilihat dari sudut pandang historis maupun normative, posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan, dan membimbing manusia dalam berinteraksi dengan Tuhannya.
                Dari sini dapat di pahami bahwa struktur ilmu fiqih adalah pertama  sumber hukum(masadir al ahkam) yaitu wahyu yang meliputi al Qur’an dan as Sunnah, dan yang kedua dalil hukum (adillah al ahkam) yang merupaka beberapa metode para ahli hukum dalam menggalihukum islam yang disebut dengan istinbat dan istidlal.
Cara kerja memahami nash
                Dalam memahami fiqih seorang mujtahid akan memahami nas al Qur’an dan as Sunnah , kemudian kalau tidak ada dalam keduanya mereka akan berijtihad dengan menggunakan berbagai metode yang beragam seperti, qiyas, ijma’, dan lain sebagainya guna mendapatkan sebuah kepastian hukum dari persoalan yang di temui sehingga pada akhirnya akan menghasilkan fiqih.
                Dalam menggunkan berbagai metode tersebut antara mujtahid yang satu berbeda dengan mujtahid yang lain, mereka juga berbeda pendapatnya dalam rangka menjawab pertanyaan. Bagaimana kita bisa mengetahuinya? Al Syatibi(W.790 H) mengelompokkan empat  macam bentuk pola pikir dalam memahami maksud nas, yaitu:
a)      Pola pikir dzahiriyah(neo-skripturalis)[6]
                Madzhab ini di pelopori oleh Dawud bin Ali Khalaf al Ashabani al Zahir. Ia lahir di kufah tahun 202 H dan wafat di Baghdad tahun 270 H. Menurut pola pikir kaum tekstualis maksud syara’ hanya bisa di fahami secara redaksi nas, dimana mereka memahami agama tidak dalam kerangka maqasid,mereka menolak ta’lili. Untuk itu mereka tidak menggunakan bantuan pemahaman di luar nas dalam menetapkan hukum. Menurut golongan ini fiqih hanya cukup di dapat dari al Qur’an dan as Sunnah saja.sehingga kalau tidak ada hukum dari keduanya, maka masalah waqi’iyahakan di mauqufkan. Karena pemahaman yang muncul adalah seandainya al Qur’an dan as Sunnah tidak menyebutkan hukum sesuatu , maka hukumnya adalah boleh.
b)      Pola pikir bathiniyah(neo-liberalis)
                Pola pikir madzab ini mengikuti pola pikir imamnya. Kata imamnyalah sebuah kebenaran. Golongan ini di namai bathiniyah karena  mempunyai pendirian setiap yang lahir ada bathinnya, dan setiap yang turun dalam arti wahyu ada ta’wilnya. Jadi pola pikir ini sangat liberal dan tidak menggunakan kaidah sebagaimana yang terdapat dalam kajian ilmu ushul fiqih. Mereka lebih mengedepankan peran akal dan mengecilkan pola nas, serta menolak nas dengan logika maslahat.
c)       Pola pikir kontekstual
                Kelompok ini lebih memprioritaskan makna lafadz dari pada lafadz itu sendiri. Doktrin yang mereka ajukan dalam memahami nas adalah mencari makna di balik lafadz selagi yang di peroleh tidak bertentangan dengan nas tersebut. Kecuali pada teks-teks yang bersifat mutlak atau utuh. Jika ada pertentangan teks nas dengan makna teks  atas dasar nazariyat, kelompok kontekstualisme akan mengutamakan makna hasil penalaran dengan alasan demi tegaknya kemashlahatan.
d)      Gabungan antara tekstualis dan kontekstualis
                Al syatibi menyatakan bahwa golongan pola pikir ini sangat matang dalam keilmuwan, mereka dapat menggabungkan makna tersurat dan tersirat dari makna teks. Dari sini sudah kelihatan tipologi berfikir tersebut dapat difahami  bahwa pola piker tekstual (zahiriyah) dengan menekankan teks tanpa mau berpaling dari rasionalitas dengan perangkat akalnya. Disamping zahiriyah adalah bathiniyah yang menggunakan perasaan untuk memperoleh ilmu. Polan pikir kontekstual lebih cenderung kepada reasoning sehingga ilmu menurut mereka lebih difahami dari makna yang tersirat(implisit)dari pada yang tersurat .

Hasil penalaran Ilmu Fiqih
                Al Qur’an dan as Sunnah  sebagai sumber ilmu fikih, dengan bantuan ulumul Qur’an dan ulumul Hadits mencakup tiga macam hukum. Pertama, hukum yang menyangkut keyakinan orang dewasa(mukallaf) kedua, hukum-hukum etika yaitu keharusan seseorang berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan, ketiga. Hukum-hukum praktis (amaliyah) yang mengatur perbuatan maupun ucapan seseorang. Hukum-hukum praktis meliputi dua cabang besar yaitu fiqh ibadah, yakni hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dan fiqih mu’amalah yaitu hukum yang mengatur manusia dengan individu lainnya.
                Hukum yang mengatur manusia sebagai individu dengan individu lainnya dalam komunitas melahirkan hukum pidana( al ahkam al jina’i) tujuan hukum ini adalah menjamin kelangsungan hidup manusia ,harta, kehormatan. Hukum yang mengatur hubungan Negara Islam dengan Negara lain, hubungan antara nonmuslim dinegara Islam dan sebaliknya, melahirkan hukum internasional (al-ahkam ad-duawaliyah). Tujuan hukum ini adalah menjelaskan batasan hubungan antara Negara Islam dan Negara lain. Hukum yang mengatur hubungan yang berkenaan dengan fakir miskin dalam harta orang kaya dan mengatur sumber pendapatan dan pengeluaran Negara melahirkan hukum ekonomi dan keuangan( al-ahkam iktishadiyah wal maliyah).Tujuan hukum ini adalah mengatur hubungan orang kaya dengan fakir miskin dan hubungan antara warga satu Negara dengan warga satu Negara lain.


Kesimpulan
                Struktur ilmu fiqih pertama adalah sumber hukum dalam masadir al-ahkam yaitu al-Qur’an dan as Sunnah, kedua adalah ijtihad yang dilakukan oleh para ahli hukum dalam menagkap atau memahami beberapa dalil hukum (adilah al-ahkam) yang terdiri dari ijma , qiyas, maslahah, istihsan, istihshab, dan urf
                Cara kerja ilmu fiqih adalah menggali fiqih atau hukum  dari sumbernya yaitu al Qur’an dan as Sunnah, kemudian kalau tidak ada akan dilakukan dengan ijtihad menggunakan dalil. Hanya saja para ahli ushul berbeda beda dalam pemahaman, baik yang menggunakan pendekatan tekstualis, atau bathiniyah, atau kontekstualis, sehingga pada akhirnya sama-sama menghasilkan hukum.
                Hasil penalaran ilmu fiqih dapat menghasilkan berbagai macam aturan yang dapat mengatur semua lini kehidupan seorang muslim, baik yang berhubungan langsung kepada Tuhannya ataupun anrtar sesama manusia.

                                                                                Daftar Pustaka

Abdurrahman Asjmuni,Qawa’id Fiqhiyyah,(Yogyakarta:suara Muhammadiyah,2011) cetakan     ke 3
Nata abuddin , Metodologi studi Islam,(Jakarta: Rajawali Pers,2010) cetakan ke 17
Ash Shobuni Abdurrahman, ba bakr kholifah,al Madkhol al Fiqhi wa Tarikh al Tasyri’al Islami,(al Azhar: Maktabah wahbah, 1985)
Djazuli,A,Ilmu fiqih, penggalian, perkembangan, dan penerapan hukum Islam,(Jakarta:               kencana prenada media group,2006) cetakan ke 6
Abu al ainain Badran, Ushul al fiqh al islami,(Iskandariyah:muassasah al jami’ah,1984)

Al syatibi abi ishak Ibrahim al lahmi, Al muwafaqat fi ushul al syari’at,( Beirut: dar al         makrifat,1997)
Adib Mohammad , Filsafat Ilmu,(Yogyakarta.:pustaka pelajar,2011) cetakan ke 2
                     



[1] Abuddin Nata, Metodologi studi Islam,(Jakarta:Rajawali pers,2010) cetakan ke 17, h.295
[2] A. Djazuli, Ilmu fiqh, penggalian,perkembangan,dan penerpan hukum islam,(Jakarta:kencana,2006) cetakan ke 6, h.5
[3] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu,(Yogyakarta.:pustaka pelajar,2011) cetakan ke 2,h. 74
[4] Badran abu al ainain, Ushul al fiqh al islami,(Iskandariyah:muassasah al jami’ah,1984) h.23
[5] Asjmuni Abdurrahman, Qawa’id Fiqhiyyah,(Yogyajarta:suara Muhammadiyah,2011) cetakan ke 3,h.2
[6] Abdurrahman ash shabuni, al madkhol al fiqhi wa tarikh al tasyri’ al islami(al azhar: dar at taufiq an namudijiyah) h.289

Diajukan Untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Filsafat Ilmu di PUTM (Ahmad Syarif)

0 komentar: