Minggu, 22 April 2012

Negarawan yang Selalu Menjaga Wudhu

Siapa sangka, menteri besar yang memiliki julukan Nizham Al-Mulk (Penyangga Kerajaan) dalam pemerintahan Bani Saljuk itu dulunya berasal dari keluarga miskin. Tidak berselang lama, setelah kelahirannya tahun 408 H, ibunya wafat. Ayahnya yang ditunjuk menjadi dahqan (lurah), di wilayah Baihaq juga memperoleh gaji yang tidak mencukupi, hingga Nizham Al-Mulk kecil harus disusukan kepada para wanita penyusu tanpa upah.

Kesusahan hidup Nizham semakin terasa setelah ayahnya wafat di saat ia belum baligh, hingga ia harus tumbuh dalam keadaan yatim piatu. Akan tetapi, tokoh yang bernama lengkap Abu Ali Al-Hasan bin Ali bin Ishaq At Thusi ini memiliki tekad baja. Dalam keadaan miskin, sekuat tenaga ia berusaha menuntut ilmu. Fiqih madzhab As Syafi’i, Bahasa Arab, Hadits, al-Qur`an, bahkan sampai Bahasa Persia ia pelajari.

Jarih payahnya itu berbuah, di masa mudanya ia memiliki banyak kemampuan. Ia mahir dalam ilmu hitung, tulis-menulis dan manajemen, sampai akhirnya Daulah Ghaznawiyah mengangkatnya sebagai pegawai. Karena kecakapan yang dimilikinya, tak berapa lama statusnya naik menjadi sekretaris Ali bin Syadzan, pejabat Bani Saljuk untuk kawasan Balakh. Posisi tersebut menjadikan Nizham saat itu menjadi semakin dekat dengan penguasa Bani Saljuk.

Alba Arsalan, sebelum ia naik tahta sebagai Sultan Saljuk, mengangkat Nizham sebagai sekretaris pribadinya. Tak hanya itu, Nizham juga diambil sebagai anak angkat calon penguasa besar tersebut. Begitu Alba Arsalan menjadi Sultan, Nizham diangkat sebagai menteri.

Ideolog Negara

Bukan hanya memposisikan diri sebagai pembantu Sultan, Nizham juga berperan sebagai peletak konsep dasar negara. Bagi Nizham, dien (agama) dan negara adalah dua saudara kembar, yang tidak bisa dipisahkan.

“Ketika pemimpin rusak, maka agama menjadi terancam. Demikian pula jika agama yang rusak, maka kedaulatan akan terganggu, banyak perusak yang mengancam serta kekuatan para pemimpin menjadi lemah dan menyebarnya bid’ah.” Demikian kata Nizham dikutip dari Siyasat-namah yang ditulis dalam Bahasa Persia.

Nizham, dalam kitab yang memiliki nama Arab Siyar Al-Mulk (Tradisi Raja-raja) ini ditulis bahwa ia juga selalu melakukan evaluasi terhadap pemerintahan Bani Saljuk, sekaligus memberi jalan keluar, yang didasari pengalaman-pengalaman pemerintahan pada masa-sama sebelumnya. Sultan Maliksyah, setelah menggantikan Alba Arsalan mengatakan, ”Aku telah menjadikan kitab ini sebagai imam dan aku akan melangkah sesuai dengannya.”

Yang juga ditulis Nizham dalam Siyasat-namah adalah nasehat kepada para penguasa agar mensyukuri nikmat Allah berupa kekuasaan yang diberikan kepadanya. Cara mensyukurinya dengan berbuat adil dan tidak menzalami rakyatnya.

Untuk mengontrol bawahan dan musuh, Wazir (menteri) Nizham juga memberi nasehat kepada para penguasa agar mengandalkan intelijen dan barid (pengantar surat), untuk mengetahui kondisi rakyatnya dan para pejabatnya. Juga untuk mengetahui kondisi musuh dan gerakan mereka.

Dalam pasal 32-39 kitab Siyasat-namah, Nizham juga menjelaskan bagaimana seharusnya penguasa berinteraksi dengan para tokoh di masyarakat.

Mengenai para penganut sekte sesat, seperti Ismailiyah, Nizham memberi nasehat kepada penguasa agar mereka tidak diangkat sebagai pejabat, karena hal ini bisa mengancam stabilitas negara. Mereka berusaha untuk mengubah pemerintahan dengan pemerintahan model Persia. Bahkan di masa Maliksyah, selama 20 tahun tugas-tugas Sultan dilaksanakan oleh sang menteri, karena saat itu Sultan lebih suka bersenang-senang dan berburu.

Diplomat Ulung

Walau berkedudukan sebagai menteri, Nizham memiliki akses lebih kuat dibanding Sultannya dengan pusat kekhalifahan di Baghdad. Ketika ada keinginan dari Bani Saljuk untuk melepaskan diri dari Baghdad, maka Nizham berupaya mencegahnya. Secara diam-diam ia menghubungi Baghdad, dan meminta agar mereka memperhatikan apa yang diinginkan Kesultanan Bani Saljuk. Sehingga para sejarawan menyebutkan bahwa Kekhalifahan Baghdad lebih takut pada Nizham dibanding Sultannya.

Terapkan Syariat

Para pembesar Bani Saljuk berketurunan Turki sangat gemar berperang, namun tidak memiliki pengetahuan tentang syariat dan bahasa Arab dengan baik. ”Kami adalah kaum baru dan asing, kami tidak memiliki pengetahuan mengenai syariat,” kata Tughrul Bek, pendiri Bani Saljuk. Tugas Wazir Nizham kemudian menguatkan pemerintahan mereka dengan syariat.

Hasilnya, tidak lama kemudian, praktek mukus alias pungli yang amat membebani rakyat dilarang. Tidak sampai di situ, ia sendiri mendirikan mejelis pengaduan, dan ikut menyimak keluhan rakyat. As Subki, seorang ulama bersejarah menggambarkan majelis pengaduan itu. ”Jika duduk di majelis pengaduan, ia (Nizham Al-Mulk) menegakkan hukum dengan al-Qur`an dan As Sunnah. Dengan kewibawaanya, ia menakut-nakuti setiap penzalim hingga tidak ada lagi ketakutan. Rakyat tidak khawatir lagi terhadap pejabat zalim.”

Dekat dengan Rakyat

As Subki menyebutkan, suatu saat di majelis pengaduan ada yang melemparkan lembaran kertas yang ada tinta basahnya kepada Nizham. Akibatnya, tinta itu menempel ke pakaiannya. Namun, ia dengan tenang mengambil kertas tersebut dan menandatanganinya. Padahal saat itu pengawalnya amat banyak.

Siapa saja bisa dengan mudah menemui Nizham, sekalipun ia sedang makan misalnya. Pernah suatu saat ada seorang wanita hendak menemuinya, namun penjaga menghalanginya. Akhirnya Nizham menasehati si penjaga, ”Sesungguhnya, saya menginginkan engkau dan orang-orang seperti engkau untuk mempersilakan ia masuk.”

Suatu saat angin berhembus kencang hingga karpetnya Nizham dipenuhi pasir. Para stafnya kebingungan, setelah tidak menemukan mereka yang bertugas untuk menyapunya. Saking marahnya, para staf itu hendak menghukum mereka. Mendengar ucapan itu, Nizham menasehati, ”Mereka juga manusia seperti kita, mereka merasa sakit sebagaimana yang kita rasakan, mereka membutuhkan apa yang juga kita butuhkan. Kita telah diberi kelebihan oleh Allah daripada mereka. Maka mensyukuri nikmat-Nya bukan dengan cara menghukum mereka karena kesalahan kecil.”

Nizham sendiri dikenal sebagai pribadi yang saleh. As Subki dalam Thabaqat Al-Kubra memberi kesaksian, menteri yang satu ini rajin melaksanakan puasa Senin-Kamis dan gemar bersedekah. Kalau membaca al-Qur`an tidak pernah dengan bersandar untuk menghormati kitab suci itu. Ia juga selalu menjaga wudhu. Mushaf tidak pernah lepas dari tangannya ke manapun pergi. Jika terdengar azan berkumandang, ia segera beranjak dari pekerjaannya untuk melaksanakan shalat. *

Hidayatullah.com

0 komentar: