Senin, 09 April 2012

PENDIDIKAN ISLAM VS AROGANSI PEMUJA KITAB KUNING


Pendahuluan
Bentuk dan isi Pendidikan Islam berubah karena tuntutan perkembangan zaman. Proses perubahan itu sendiri bukan suatu peristiwa yang lancar dan mulus tanpa perselisihan pendapat. Manakala tidak tercapai harapannya muncul kekecewaan-kekecewaan. Untuk menyelesaikan perselisihan pendapat seringkali dijastifikasikan dengan hadis munkar yang tidak ada asalnya: Ikhtilafu Ummati Rahmah (M.Nasiruddin 1989:80)

Kekecewaan-kekecewaan terhadap lembaga pendidikanb Islam bermunculan bersamaan dengan kualitas alumnusnya yang sanhgat rendah. Sistem sekolah termasuk ke pesantren untuk meningkatkan mutu kognisi dan psikomotor alumnus pesantern. Pesantren dengan sistem sekolah ini dikenal dengan pesantren khalaf. Manakala pesantren khalaf ini kalah bersaing dengan sekolah-sekolah umum, maka lebih-lebih pesantren-pesantren yang bersistem salaf, tidak akan masuk hitungan. Keadaan dan statistiknya selalu tidak lengkap dari tahun 1873 sampai 1927 karena tidak menarik perhatian (Karel A. Steenbrink, 1986 : 9)

Pada saat alumnus Lembaga Pendidikan Islam setingkat SMP dan SLTA menunjukan gejala perilaku yang non islami, kekecewaaan muncul lagi, bukan hanya atas perilaku non Islami, tetapi juga pada ketidakmampuannya dalam bahasa Arab, meskipun kemudian dimasukkan dalam batas toleransi. Selanjutnya pada saat lulus dari Perguruan Tinggi Islam (Swasta) atau IAIN ternyata tidak mampu membaca kitab kuning, maka yang muncul bukan hanya kekecewaan, tetapi suah sampai pada upaya pencarian solusi, seperti pendirian Ma'had Ali. Dari sini dilihat bahwa dorongan untuk peningkatan Lembaga Pendidikan Islam sering kali bermula dari rendahnya kemampuan berbahasa Arab dan sedikit sekali karena alasan perilaku yang non Islami.

 Kegagalan persaingan pada ranah kognisi untuk tingkat menengah tidak begitu kelihatan, karena masih bisa ditampung di PT-PT Islam. Pada gilirannya PT_PT Islam termasuk IAIN berada dalam posisi dilema; sebagai Lembaga Dakwah Islamiah atau Lembaga Pendidikan favorit dan elit yang berdaya saing dengan PT Umum sesuai dengan perkembangan zaman. Pendidikan Islam: Adoptif, Inovatif Pendidikan Islam dan sifatnya yang terbuka akan senantiasa terus berkembang bahkan cepat mengadopsi sistem-sistem pendidikan yang lebih baik.

Pendidikan Islam dengan model pesantren adalah hasil adopsi dari Hindu (Amir Hamzah, 1968: 40; Aboebakar, 1957: 43; Poerbakawatja, 1970: 13-21) Manakala dirasakan perlu adanya perbaikan, maka pesantren mengadopsi sistem dari Barat sampai lahir beberapa PT Islamn dalam pondok pesantren. Adapun bentuk Pendidikan Islam mendatang adalah tergantung pada inovasi yang sudah mapan sesuai perkembangan zaman serta wawasan ahli pendidikan Islam.

Bila pesantren yang diisi dengan PT_PT Islam ternyata para alumnusnya kalah bersaing dengan alumnus PT_PT Umum meski sama sistemnya, tentu saja ada yang menghambat.

Pertama: Ditinjau dari antropologi kultural, sosiologi dan ekonomi, maka fungsi pendidikan itu ada tiga :
1. Menumbuhkan kreativitas subyek didik
2. Menjaga lestarinya nilai-nilaia insani dan ilahi, dan
3. Menyiapkan tenaga kerja produktif (Noeng Muhajir 1987: 19-20)

Pada PT-PT Islam yang menonjol adalah fungsi kedua : menjaga lestarinya nilai-nilai ilahi. Mempertahankan nilai-nilai ilahi dan insani adalah karakter aktivitas yang tidak sejalan dengan pengembangan kreativitas. Karena itu ada keterkejutan ketika melihat kreasi alumnus dari PT-PT Umum yang dilipatgandakan oleh tenaga kerja trampil yang produktif.

Pemikiran filsafat dari tokoh-tokoh PT Islam akan tetap mengacu bukan pada kreativitas tetapi justru utnuk memantapkan kelestarian nilai-nilai ilahi dan insani, dan menjelaskan pada subyek didik, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dikreasi. Dari sini dapat dipahami ,mengapa alumnus PT-PT Umum, tampilannya sering muncul dari segi ekonomi. Realitas berbicara bahwa pelestarian itu mengeluarkan biaya lebih banyak dari pada menghasilkannya, setidak-tidaknya mengekang lahirnya kreativitas yang mahal harganya.

Kedua: Perguruan Tinggi slam dengan fungsi kedua ini yang akan teru diserang. Kepiawaian alumnusnyadalam berfilsafat akan diuji pada taraf yang paling dasar. Bagaimana mereka melafalkan basmalah atau salam. Manakala tidak faseh maka kehebatannya menguap walaupun uraian tentang keilmuan/keislamannya begitu hebat (Imam Suprayogo, 1986:49). Benteng akhir untuk menunjukkan keberhasilannya adalah kemampuannya membaca kitab kuning.

Kefasehan lafalnya dalam bahasa Arab serta kemampuannya membaca kitab kuning dianngap alat untuk eksistensi diri ketika kembali ke masyarakat. Alumnus macam ini tidak dituntut untuk memiliki kreativitas bidang tehnologi. Mereka dimaklumi. Tetapi ketidakmampuannya membaca kitab kuning menimbulkan kekecewaan "senior" yang memuja kitab kuning. Pada kasus ii timbul gugatan terhadap sistem pendidikan Islam, khusu IAIN dan PT-PT Islam yang hanya membuka fakultas sosial keagamaan.
Gambaran tersebut di atas menjadikan sisi lainnya tampak jelas. Sebagai kebalikannya, PT Islam yang membuka jurusan eksak dan teknik merasa aman dari gugatan membaca membaca kitab kuning. Alumnusnya dimaklumi tidak mengkaji keislaman dan kitab kuning. Mereka mampu bersaing dengan PT-PT umum lainnya, bahkan sangat membanggakan. Mereka belum tentu fasih bersalam apalagi membaca kitab kuning. Mereka mendapat banyak toleransi, sehingga kualitasnya tidak dijadikan alasan untuk mempertanyakan sistem pendidikan Islam, justru menjadi kebanggan. Meskipun, demikian dewasa ini belum banyak yang memanfaatkan jurusan ini.
Yang menarik dari sekilas pandangan tadi adalah tidak disadarinya bahwa keinginan untuk kembali ke salaf, yang jelas- jelas tergeser dan tergusur roda zaman, seolah-olah menjadi satu- satunya jalan menuju sorga.Kewaspadaan pada berbagai sisi tentu diperlukan, karena tanpa kearifan, kekecewaan-kekecewaan yang tidak logis justru menghambat lajunya pendidikan Islam.

Ketidaklogisan kekecewaan itu dilihat dari dua sebab :
  • Belum difahami relitas perkembangan zaman. Seperti adanya kampus PT di pesantre itu bermula dari surau-surau kecil. Mustahil berbalik dari kampus kemudian mendirikan suirau-surau kecil. (Masih banyak keinginan untuk menunjukan kesalafan dan kesufian melalui kesederhanaan material yang kelewat batas).
  • Belum difahami bahwa obsesi pada kemampuan membaca kitab kuning itu adalah terjebak pada arogansi (pemuja) kitab kuning.
Pada sebab yang pertama, kekecewaan dan kekhawatiran akan hilangnya pondok pesantren akan hilang dengan sendirinya maakala sudah difahami realitas perubahan zaman. Adapun pada sebab kedua, maka penyembuhannya merupakan salah satu cara untuk menjebol akar-akar hambatan pendidikan Islam itu sendiri. Berikut ini sebagian akarnya ditampilkan.

Arogansi (Pemuja) Kitab Kuning
Upaya untuk menjadikan bahasa Arab memasyarakat melalui pengajarannya sering kali berbenturan dengan prosesnya, karena proses pengajaran atau belajar mengajar bahasa Arab seringkali mengacu pada obsesi pemuja kitab kuning yaitu subyek didik dapat membaca kitab kuning, bukan hanya para mahasiswa, tetapi sampai pada siswa tingkat SMP, dengan harapan mereka dapat mendalami Islam. Tetapi mereka lupa bahwa Quran itu meski berbahasa Arab tetapi tidak disebut kitab kuning. Quran berbahasa Arab dan juga buku-buku hadis yang ditulis dengan sempurna itu tidak disebut kitab kuning. Kitab kuning adalah buku-buku berbahasa Arab dengan tulisan yang tidak bersyakal. Sebutan ini sengaja dipakai untuk membatasi kajian ini. Mengapa obsesi pemuja kitab kuning berbenturan dengan upaya pemasyarakatan bahasa Arab via pengajarannya? Ketidaktahuan sebab ini adalah salah satu akar hambatan Pendidikan Islam yang perlu dicabut.

Salah satu ciri khas ketarbiyahan adalah menjadikan mudah semua materi yang disampaikan pada subyek didik, termasuk bahasa Arab. Keinginan agar subyek didik mampu membaca kitab kuning itu adalah menjadikan bahasa Arab sulit. Hal ini bertentangan dengan upaya pengajaran itu sendiri. Secara tidak sadar para ahli (guru/dosen) bahasa Arab telah menjadikan upaya pemasyarakatan bahasaArab itu sendiri justru mematikannya. Mereka terjebak pada begitu banyaknya kitab kuning.
Seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa para pembaca bahasa Asing (selain bahasa Arab) membaca agar dapat memahami apa yang dibaca, sedangkan para pembaca bahasa Arab harus paham dulu teks yang akan dibaca supaya betul bacaannya (Abd al-'Alim Ibrahim, 1978:206). Jauh sebelumnya juga ada yang mengatakan bahwa umumnya orang-orang Eropa dapat membaca dengan benar tulisan bahasa mereka, dan akemampuan membaca yang mereka miliki menjadi sarana untuk memahami maksud yang dikandung dalam bacaan; sedangkan para pembaca bahasa Arab tidak bisa membaca dengan benar kecuali jika sudah paham lebih dulu apa yang hendak dibaca (Ali Abd al-Wahid Wafi, 1962:254). Pernyataan-pernyataan tersebut dapat direduksi bahwa teks Arab itu harus dipahami dulu agar dapat dibaca dengan betul, paham untuk membaca bukan membaca untuk paham. Kalau sudah paham untuk dibaca. Ini proses membaca yang tidak logis. Permasalahannya dari mana muncul pernyataan tidak logis untuk proses membaca tulisan bahasa Arab.

MH. Bakalla menyatakan bahwa para pembaca tulisan bahasa Arab banyak mengalami kesulitan untuk membacanya dengan benar, karena mereka harus memikirkan teks sebelum membacanya, bahkan sering kali harus memahami lebih dulu maksud teks agar benar bacaannya (1980: Vol. I, h. 115). Pernyataan ini muncul sebagai gambaran aktivitas ketika membaca tulisan kitab kuning yang tidak bersyakal. Karena untuk para pemula sekalipun, tidak pernah mengalami kesulitan yang berarti ketika membaca Quran bersyakal.

Ketidak-pahaman terhadap sebab sulitnya membaca kitab kuning inilah yang belum difahami oleh pemuja kitab kuning. Sampai pada kenyataan proses membaca kitab kuning yang tidak logis ini seringkali muncul pembelaan bahwa untuk membaca kitab kuning itu alatnya adalah Nahwu/sharaf (Gramatika bahasa Arab). Naif sekali, karena ilmu nahwu/sharaf itu menjadi tidak ada gunanya ketika tulisan sudah sempurna seperti Quran sekarang. Dan pembelaan ini pula menunjukan tidak dipahaminya apa fungsi ilmu nahwu/sharaf (Gramatika bahasa Arab). Ketidak-pahaman demi ketidak-pahaman inilah beberapa cabang dari akar-akar hambatan pendidikan Islam, yang harus dicabut.

Ketika diingatkan agar kitab kuning itu disempurnakan lengkap dengan syakalnya agar pengajaran bahasa Arab menjadi efektif dan efisien, yang muncul adalah arogasi. Pemuja kitab kuning mengira bahwa itulah keistimewaan bahasa Arab. Arogansi ini menunjukkan ketidak pahamannya akan makna istimewa. Istimewa tidak terletak pada kesulitan, karena kesulitan tadi berasal dari ketidak kesempurnaan. Dan ini kekurangan kitab kuning yang belum diakui pemujanya. Oleh karena pendidikan Islam itu menjunjung cara berfikir login maka obsesi pada yang tidak logis, dibalik arogasi akan kemampuan akan membaca kitab kuning menjadi lawannya.

Penutup
Tarik menarik bentuk pendidikan Islam: salaf, kholaf, sampai dengan sistem SKS dewasa ini hanya terjadi karena kekecewaan terhadap output yang tidak bisa membaca kitab kuning, dari IAIN atau PT-PT Islam yang hanya menyediakan jurusan sosial keagamaan. Kekecewaan serta kekhawatiran berkurangnya sarjana atau ulama yang bisa membaca kitab kuning bermula dari ketidak pahamannya mengapa demikian sulit membaca kitab kuning. Bila ini dibiarkan, maka upaya pemasyarakatan bahasa Arab terhambat, bahkan terjadi pemetisan bahasa Arab.
Agar pendidikan Islam lebih cepat derap langkahnya, maka diperlukan kerja keras untuk bersama-sama menjadikan kitab-kitab bahasa Arab tidak kuning lagi. Hal ini merupakan kesadaran yang tinggi, bukan arogasi. Barangkali sebagai gerakan untuk mudah diingat sebagai era baru penjebolan akar-akar pengamat pendidikan Islam perlu ditawarkan slogan bahwa Pendidikan Islam itu menggunduli kitab gundul.

*)Saidun Fidaroini, Pembantu Rektor III IAIN Sunan Ampel dan Dosen Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Daftar Pustaka:
  • Aboebakar Atjeh, Haji. Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim dan karangan tersiar, Jakarta: t.p, 1957.
  • Al-Albani, Muhammad Nasiruddin,Hadits-hadits Dha'if & Maudhu', Bandung: Penerbit Risalah, 1986.
  • Bakalla, M. Hasan, Abhas al-Nadwah al-'Alamiah al-Ula Li Ta'lim al-'Arabiyah li Ghair al-Natiqin biha, Riyad: University of Riyad, 1980.
  • Ibrahim, Abd. al-'Alim, Al-Muwajjih al-Fanny li mudarrisi al- Lughah al-'Arabiyah, Kairo: Dar al-Maarif, 1978.
  • Muhadjir, Noeng, Ilmu pendidikan dan perubahan sosial, seatu teori pendidikan, Yogyakarta: Rake Sarasih, 1987.
  • Poerbakawatja, Soegarda, Pendidikan dalam Alam Indonesia, Merdeka, Jakarta: t.p., 1970.
  • Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES,1986.
  • Suprayogo, Imam. "Urgensi Bahasa Arab dalam meretas Khasanah Islam Klasik", Jurnal ilmu dan pemikiran keagamaan, Malang: F.A. Islam Unmuh Malang, I, 1996.
  • Wafi Ali Abd al-Wahid, Fiqh al-ughah, t.k. : Lajnah al- Bayan al-'Arabiy, 1962.
  • Wiryosukarto, Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam yang diselenggarakan oleh pergerakan Muhammadiyah, Singosari-Malang, t.p., 1968.

0 komentar: