Kamis, 05 April 2012

BAB XII ( IBADAH PUASA)



Shiyam atau puasa secara bahasa bermakna: “menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu”. Sedangkan menurut syara’ adalah “ menahan diri dari makan, minum, dan bersenang-senang dengan istri, dari fajar sampai maghrib karena mengharap dan menyiapkan diri untuk bertaqwa kepadaNya dengan jalan memperhatikan Allah dan dengan mendidik bermacam kehendak”.[1]
Sedangkan menurut imam Nawawi dalam syarah Muslim dan al-hafidz dalam Fathul Baari bahwa puasa secara bahasa adalah: “menahan”. Menurut istilah, puasa adalah: “ menahan sesuatu yang telah dikhususkan pada waktu yang telah dikhususkan dan dengan syarat yang ditentukan “.[2]
Ibadah puasa terbagi menjadi 3 bagian:
1.    Puasa wajib
2.    Puasa sunah
3.    Puasa yang terlarang
PUASA RAMADHAN
Ibadah shiyam di bulan Ramadhan merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang diwajibkan Allah swt pada tahun kedua Hijriyah. Dalam sejarahnya, ibadah puasa ini bukan sesuatu ketentuan yang ditemukan dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tetapi ibadah ini diwajibkan pula pada zaman nabi-nabi Allah sebelum Nabi Muhammad saw. sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an al-Baqarah : 183
ياايها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون (البقرة 183)

Artinya: ”wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Syaikhul Islam imam Ghozali menjelaskan bahwa pengertian taqwa yang sebenarnya adalah:
a.Tumbuhnya perasaan gentar dan takut terhadap murka dan azab Allah swt. Akibat dilanggarnya berbagai larangannya.
b.    Menjaga diri agar senantiasa dapat mentaati dan pasrah sepenuh hidupnya apapun yang menjadi kehendak Allah.
c.    Selalu berusaha untuk mensucikan mata batinnya dari berbagai noda dan dosa.

MENGETAHUI MASUKNYA IBADAH PUASA
Ada beberapa pendapat yang berkenaan dengan mengetahui masuknya awal ibadah puasa. Menurut yang difahami Muhammadiyah, setidaknya ada 3 cara yang bisa ditempuh berkenaan dengan permasalahan ini yaitu:[3]
a.Ru’yatul Hilal
b.    Istikmal

يَقُولُ أَبَ ا هُرَيْرَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ)رواه البخارى ومسلم).
c.    Hisab
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ وَقَالَ غَيْرُهُ عَنْ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ وَيُونُسُ لِهِلَالِ رَمَضَانَ(اخرجه الشيخان و النساء و ابن ماجه)

ORANG YANG WAJIB BERPUASA
1.      Orang Islam
Ketentuan ini berdasarkan pada QS. al-Baqarah : 183 yang menegaskan bahwa yang terkena kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadhan hanyalah orang-orang mukmin.
2.      Berakal sehat
Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah saw yang menyatakan bahwa:

عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ
Dari Aisyah bahwa Nabi saw bersabda: ”Tiga gologan yang terlepas dari hukum (syara’), yaitu orang yang sedang tidur sehingga bangun, orang gila sehingga sadar dan anak-anak sehingga baligh”(HR. Abu Dawud dan Nasa’i)”.

3.      Orang yang sudah baligh
4.      Sehat
Hal ini didasarkan pada firman Allah swt yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah: 184
ومن كان منكم مريضا او على سفر فعدَة من ايَام اخر(البقرة 184)

”maka barangsiapa diantara kalian sakit atau dalam perjalanan maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”.

Dari penegasan ini dapat diambil pemahaman (mafhum mukholafah) bahwa orang yang sakit tidak ada kewajiban untuk berpuasa.
5.      Orang yang mukim
Ini juga diambil dari pemahaman (mafhum mukholafah) QS. al-Baqarah : 184.
6.      Orang yang sedang tidak haid atau nifas
Orang yang sedang haid atau nifas tidak sah mengerjakan puasa.
Penegasan ini didasarkan ada hadis Rasulullah saw yang menerangkan bahwa kalau seseorang sedang haid atau nifas maka harus berbuka dan kelak kalau sudah suci wajib mengqadhanya.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنَّا نَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَي وَسَلَّمَ ثُمَّ نَطْهُرُ فَيَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلَا يَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
”adalah kami menstruasi di masa Rasulullah, maka kami diperintahkan agar mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat”.(HR. Jama’ah dari Muadz r.a)

RUKUN PUASA RAMADHAN
1.      Niat
Ada perbedaan pendapat dikalangan Fuqaha’ berkenaan dengan niat. Menurut Hanafiyyah niat adalah ”keinginan sedangkan keinginan itu adalah perbuatan hati dan niat tidak disyaratkan diucapkan dengan lisan”.
 Sedangkan menurut Syafi’iyyah, niat adalah ”bermaksud terhadap sesuatu dan ia bersamaan dengan perbuatan tersebut”.[4]

 عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
”Dari Salim bin Abdullah dari bapaknya dari Hafshah bahwa Nabi saw bersabda: ”Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum Fajar maka tiada puasa baginya”.
Menurut Jumhur Ahli Fiqih berpendapat bahwa yang wajib adalah membangun niat sejak malam sampai sebelum muncul fajar, berdasarkan dalil di atas. Abu Hanifah memperbolehkan niat puasa Ramadan di waktu malam sampai tengah hari.
Ada lagi kalangan ulama yang berpendapat bahwa penetapan niat sebelum fajar hanya untuk puasa fardhu, untuk sebelum matahari tergelincir. az-Zuhri, Atha’ dan Zufar tidak mengharuskan niat untuk puasa Ramadhan. Imam Malik berpendapat bahwa niat puasa Ramadhan yang ditetapkan di malam pertama bulan Ramadhan sudah cukup untuk puasa sebulan penuh tanpa perlu memperbaharui niat tiap malam, dengan pertimbangan bahwa puasa Ramadhan merupakan satu paket amal.

2.      Menahan diri dari segala hal yang dapat membukakan puasa dari sejak fajar sampai terbenam matahari.

BEBERAPA AMALAN UTAMA DALAM IBADAH PUASA
Ada beberapa amalan utama termasuk sunah yang patut sekali dikerjakan selama seseorang melaksanakan ibadah puasa, antara lain:
1.    Mempercepat berbuka apabila telah diketahui secara jelas bahwa matahari telah terbenam. Hal ini berdasarkan tuntunan Rasulullah saw sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَحَبُّ عِبَادِي إِلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا
”Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda:”Allah Azza wajalla berkata:” sesungguhnya orang yang paling aku sayangi dari hamba-Ku ialah orang yag paling bersegera dalam berbuka”.

2.    Setelah selesai berbuka hendaklah diiringi dengan doa

حَدَّثَنَا مَرْوَانُ يَعْنِي ابْنَ سَالِمٍ ... كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

” Marwan, yaitu Ibnu Salim telah menceritakan pada kami adalah Rasulullah saw apabila berbuka beliau berdoa:” Rasa haus telah hilang, dan telah basah pula segala urat dan mudah-mudahan pahala tetap jika Allah menghendaki-Nya“.

Makan sahur yang dikerjakan pada akhir malam

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

”Dari Zaid bin Tsabi, ia berkata:” kami telah makan sahur bersama Rasulullah saw, kemudian kami berdiri melaksanakan shalat (subuh). Aku bertanya pada Zaid:”berapa lamakah tempo antara sehabis makan sahur dengan shalat tersebut?” Zaid menjawab: ”Kira-kira lima puluh ayat al-Qur’an”.

BEBERAPA AMALAN UTAMA DI BULAN RAMADHAN
Seiring dengan ibadah puasa Ramadhan, ada beberapa amalan yang sangat utama untuk dikerjakan. Beberapa amalan tersebut adalah:
1.    Memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
”Dari Zaid bin Kholid al-Juhni ia berkata:  ”barang siapa memberi makanan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan ganjaran sebanyak ganjaran orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun (ganjaran orang tersebut)”.(HR. Ahmad dari Zaid Ibnu Khalid ra).
2.    Memperbanyak shadaqah di bulan Ramadhan
سئل رسول الله صم ايَ الصدقة افضل؟ قال صدقة فى رمضان (رواه التَر مذى)
”Rasulullah saw ditanya, shadaqoh manakah yang utama? Beliau menjawab: shadaqah pada bulan Ramadhan”.(HR. Tirmidzi dari Anas ra.).
Dalam hal ini Abu Darda ra mengatakan:
”Shalatlah kalian dalam kegelapan malam dua rakaat, untuk menentang kegelapan kubur. Berpuasalah kalian di hari yang sangat panas, untuk menentang kepanasan di hari padang mahsyar. Dan bersadaqahlah kalian dengan sesuatu sadaqah untuk melawan kesukaran di hari kiamat yang sangat menyukarkan”.
3.    Mendaras (membaca) ayat-ayat suci al-Qur’an
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: adalah Rasulullah saw orang yang paling murah hatinya. Lebih-lebih pada bulan Ramadhan, ketika beliau dijumpai malaikat Jibril pada setiap malamnya, maka ia mengajaknya menderas al-Qur’an. Maka Rasulullah saw ketika berjumpa dengan Jibril itu adalah orang yang paling permurah pada hartanya melebihi angin yang bertiup”.( HR. Bukhari Muslim dari Ibnu Abbas ra.)
4.    Mengerjakan shalat tarawih atau qiyamur-Ramadhan
Shalat tarawih dilaksanakan sebagaimana melaksanakan shalat malam, seperti yang telah diterangkan hadis riwayat Aisyah ra:[5]
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
 “Dari Abi Salamah bin Abdurrahman, dia bertanya kepada Aisyah
bagaimana shalat Rasulullah saw pada bulan Ramadhan? Lalu ia berkata: Rasulullah saw tidak pernah melebihi sebelas rakaat di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan yang lain”. (HR. Bukhari dan Muslim).
5.    Meningkatkan ketekunan beribadah pada 10 hari yang terakhir bulan Ramadhan
Dalam hal ini ada beberapa amalan yang ditunjukkan dan dituntunkan oleh Rasulullah saw disaat memasuki 10 hari yang terakhir bulan Ramadhan.[6]
a.    Menghidupkan malam hari bulan Ramadhan
Menghidupkan malam memasuki 10 hari yang terakhir bulan Ramadhan hendaklah diisi dengan memperbanyak zikir kepada Allah swt atau amalan ibadah lainnya yang telah dituntunkan oleh syara’. Bukan sebaliknya diisi dengan bermain catur, membakar petasan dan lain sebagainya.
b.    Membangun keluarga dan sanak kerabat
Amalan ini dianjurkan oleh Rasulullah karena memang memasuki hari-hari tersebut kebanyakan orang sudah mulai merasakan kelelahan fisik, apalagi bagi ibu-ibu yang biasanya selama dua puluh hari sudah sibuk menyiapkan makan sahur, maka di sinilah barangkali hikmah kenapa Rasulullah menganjurkan agar membangunkan keluarga.
c.    Mengeratkan ikat pinggang
Ajaran ini dimaksudkan agar dalam rangka memasuki hari-hari terakhir hendaklah mengerahkan segal potensi untuk bertaqrrub kepada Allah swt. Terhadap ketiga tuntunan di atas berdasarkan pada:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
”Dari Aisyah ia berkata: adalah Rasulullah saw apabila telah memasuki sepuluh yang akhir dari bulan Ramadhan beliau menghidupkan malam harinya, membangunkan keluarganya, serta mengikat pinggangnya”.(HR. Bukhari Muslim dari Aisyah).
d.    beri’tikaf dalam masjid
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ
”Dari Aisyah, istri Nabi saw ia berkata: adalah Rasulullah saw beri’tikaf sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau wafat”. (HR. Bukhari Muslim dari Aisyah).
6.    Memperbanyak doa kepada Allah swt.

BEBERAPA PERBUATAN YANG DIPERKENANKAN DILAKUKAN SAAT MELAKSANAKAN IBADAH PUASA[7]
Ada beberapa amalan yang diperbolehkan untuk dilakukan pada saat orang sedang berpuasa. Beberapa amalan tersebut antara lain:
1.    Menuangkan air di atas kepala karena kepanasan
 عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَ فِي سَفَرٍ عَامَ الْفَتْحِ وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ بِالْإِفْطَارِ وَقَالَ إِنَّكُمْ تَلْقَوْنَ عَدُوًّا لَكُمْ فَتَقَوَّوْا فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَامُوا لِصِيَامِكَ فَلَمَّا أَتَى الْكَدِيدَ أَفْطَرَ قَالَ الَّذِي حَدَّثَنِي فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ الْحَرِّ وَهُوَ صَائِمٌ
”Dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits dari seorang sahabat Nabi SAW menuangkan air di atas kepalanya karena kepanasan, sedang beliau dalam keadaan puasa”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Bakar bin Abdurrahman).
2.    Menggosok gigi di siang hari bulan Ramadhan
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ زَادَ مُسَدَّدٌ مَا لَا أَعُدُّ وَلَا أُحْصِي
”Dari Abdullah bin ’Amir bin Rabi’ah dari kakeknya ia berkata: Saya melihat Rasululah SAW mengosok gigi yang tidak dapat aku hitung sedang beliau dalam keadaan berpuasa” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi dari Amir bin Rabi’ah).
3.    Mencium istri
         عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

”Dari Aisyah ia berkata: Adalah Nabi saw mencium (saya) dan bersentuhan (dengan saya) sedang beliau berpuasa.  Akan tetapi beliau adalah orang paling mampu/kuat menahan nafsunya”.(HR. Jama’ah selain Nasa’i dari Aisyah ra ).
4.    Berbekam
Yaitu mengeluarkan darah dari badan dengan jalan mematuknya sebagai usaha untuk menghilangkan penyakit.
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ ثَابِتًا الْبُنَانِيَّ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ وَزَادَ شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
”Apakah di masa Rasulullah saw masalah berbekam itu kalian anggap makruh? Ujar Anas: ”tidak kecuali bilamana melelahkan (orang yang berbekam tersebut).” (HR. Bukhari).
5.    Keadaan junub sedang waktu sudah masuk subuh
سَمِعَ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ كُنْتُ أَنَا وَأَبِي فَذَهَبْتُ مَعَهُ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ أَشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كَانَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَصُومُهُ ثُمَّ دَخَلْنَا عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ فَقَالَتْ مِثْلَ ذَلِكَ
”Aisyah ra berkata: ”saya menyaksikan Rasulullah saw jika Ia memasuki subuh sedang  Ia junub dari jima’ bukan karena mimpi   lalu Ia berpuasa. Ummu Salamah juga mengatakan seperti itu”. (HR. Bukhari Muslim dari Aisyah ra).

BEBERAPA SIKAP YANG SEHARUSNYA DIPERHATIKAN DALAM MENJALANKAN IBADAH PUASA
Ditinjau dari segi hukum maka bagi setiap orang yang telah dapat menahan diri dari makan, minum dan bersenang-senang dengan istri dari sejak terbitnya matahari hingga terbenam matahari maka sudah dianggap sah puasa tesebut. Namun, kalau hal itu disoroti lebih teliti lagi dari sudut yang lain yaitu segi batiniah atau dari segi akhlaq maka sesunggunya puasa itu tidak sekedar bermakna lahiriah sesuai sabda Rasulullah saw dalam hadisnya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ

”Dari Abu Hurairah, ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw” banyak sekali orang berpuasa, yang tiada mendapat suatu apapun juga dari puasanya kecuali hanya lapar belaka, dan banyak sekali orang yang shalat tiada baginya apapun juga dari hasil shalatnya kecuali hanya kantuk belaka”. (HR. Nasa’i dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Diantara hal-hal tersebut adalah:
1.      Meninggalkan perkataan kotor dan caci maki
ليس الصيام من الأكل والشرب,انٌماالصيام من اللغو والرفث (رواه ابن خزيمة عن أبي هريرة)
”Bukanlah puasa itu sekedar menahan makan dan minum saja, bahwasanya puasa itu menahan perkataan kotor dan caci maki”. (HR. Ibnu Huzaimah dari Abu Hurairah).
2.      Meninggalkan sikap dusta dan bohong
          الصيام جنٌة ما لم يخرقها بكذب أو غيبة (رواه الطبراني عن أبي عبا دة)

puasa itu perisai selama ia tidak merobeknya dengan sikap dusta atau ghibah”.(HR. at-Thabrani dari Abu Ubaidah).
3.      Meninggalkan perbuatan yang mendatangkan kemarahan Allah swt dan sikap jahil
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

”Dari Abu Hurairah ra Ia berkata, bersabdalah saw: ”Barang siapa yang tidak meninggalkn perkataan dusta, mengumpat, fitnah, semua perkataan yang membuat kemurkaan Allah dan tidak meninggalkan perkataan zur, serta bersikap jahil, maka tidak ada hajat bagi Allah ia meninggalkan makanan dan minumannya”.(HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
4.      Bersikap sabar menghadapi segala persoalan
و هو شهرالصبر,والصبر ثوابه الجنٌة (رواه ابن خزيمة)

Dan dia (Ramadhan) itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu pahalanya adalah Surga”. (HR. Ibnu Huzaimah dari Salman)


 HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Menurut Muhammadiyah sebagaimana yang tertulis dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) pada halaman 170,  setidaknya hal-hal yang membatalkan puasa yaitu:
1.      Makan dan minum dengan sengaja di siang hari Ramadhan
     Allah swt berfirman:
 وكلوا واشربوا حتٌى يتبيٌن لكم الخيط الأبيض من الخيط الاسود من الفجر

”Serta makan dan minumlah sehingga nampak kepadamu benang (garis) putih dari benang hitam dari fajar”.(QS. al-Baqarah: 187)
Rasulullah saw bersabda:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَمْنَعَنَّكُمْ مِنْ سُحُورِكُمْ أَذَانُ
بِلَالٍ وَلَا الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيلُ وَلَكِنْ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيرُ فِي الْأُفُقِ
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub, ia menyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Janganlah sekali-kali mencegah kamu dari sahurmu, adzan Bilal dan fajar yang melintang pada cakerawala”. (HR. Muslim, Ahmad dan Tirmidzi)

2.      Mengumpuli istri (bersetubuh)
Jika seseorang bersetubuh di siang hari Ramadhan, maka hendaknya ia membayar kifarat dengan memerdekakan budak sahaya, jika tidak dapat maka ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut dan jika tidak sanggup juga maka ia wajib memberikan makan enam puluh orang miskin.[8]
Dan ada pendapat lain yang menambahkan tentang hal-hal yang membatalkan puasa bahwa puasa batal jika melakukan 6 perkara[9]:
  1. Makan dan minum
  2. Muntah yang disengaja, sekalipun tidak ada yang kembali ke dalam.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: Barang siapa terpaksa muntah, tidaklah wajib mengqadha puasanya; dan barang siapa yang mengusahakan muntah, maka hendaklah ia mengqadha puasanya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
  1. Bersetubuh

  1. Keluar darah haid (kotoran) atau nifas (darah sehabis melahirkan)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ عُبَيْدَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنَّا نَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ نَطْهُرُ فَيَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلَا يَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ مُعَاذَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَيْضًا وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا نَعْلَمُ بَيْنَهُمْ اخْتِلَافًا إِنَّ الْحَائِضَ تَقْضِي الصِّيَامَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَعُبَيْدَةُ هُوَ ابْنُ مُعَتِّبٍ الضَّبِّيُّ الْكُوفِيُّ يُكْنَى أَبَا عَبْدِ الْكَرِيمِ
Dari Aisyah, ia berkata: Kami disuruh oleh Rasulullah saw untuk mengqadha puasa dan tidak disuruhnya untuk mengqadha shalat. (HR. Bukhari).
  1. Gila (Jika gila itu datang waktu siang hari, maka batallah puasanya)
  2. Keluar mani dengan sengaja (karena bersentuhan dengan perempuan atau lainnya).


MACAM-MACAM UZUR
Orang-orang yang diperbolehkan berbuka puasa (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan adalah sebagai berikut:
1.      Orang yang sakit & Bepergian
Menurut Muhammadiyah, Ijma’ para ulama sepakat bahwa orang sakit dan bepergian tidak wajib puasa, karena Allah swt telah memberikan dispensasi untuk berbuka.

ومن كان مريضا او على سفر فعدٌة من ايٌام أخر( البقرة: 185)
Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. (QS. al-Baqarah 185).
Yusuf Qardhawi menambahkan bahwa yang dimaksud dalil di atas adalah tentu bukan bagi orang sakit yang sudah tidak ada harapan untuk sembuh, akan tetapi ”orang sakit” yang dimaksud di sini adalah orang sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya sesuai dengan hukum sebab akibat.
Sebagian ulama salaf memperbolehkan berbuka karena sakit, apapun bentuknya, meskipun sekadar sakit di telunjuk tangan. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Sirin, salah seorang tabi’in.
Untuk ukuran jarak tempuh perjalanan sehingga diperbolehkannya membatalkan puasa atau tidak berpuasa adalah 80,640 km.[10]
Sebagai konsekuensinya maka orang yang sakit atau bepergian adalah mengqadha puasanya di hari yang lain, bisa dilakukan dengan berturut-turut atau secara terpisah.

لحديث ابن عمر انَ النبى صم قال : قضاء رمضان ان شاء فرَق وان شاء تابع. (رواه الدَارقطنى).
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi saw bersabda: Mengqadha puasa bulan Ramadhan itu diperbolehkan melakukannya secara terpisah atau berturut-turut”.(HR. Daruquthni).
2.      Tua renta & Penyakit menahun
Salah satu pemilik uzur yang serupa dengan orang sakit di satu sisi, namun berbeda di sisi lain yaitu lelaki atau perempuan tua yang sudah lemah tulangnya, lanjut usianya, sangat berat bahkan tidak mampu untuk berpuasa, juga bagi orang yang punya penyakit menahun yang tidak ada harapan sembuh, orang seperti tersebut di atas tidak perlu berpuasa dan ini tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, akan tetapi dia wajib membayar fidyah.
Imam Ibnu Munzir telah menukilkan ijma’ tentang ini, yaitu tentang diperbolehkannya berbuka, tidak disyaratkan mencapai batas bagi seseorang yang tidak kuat lagi berpuasa, namun cukuplah ia merasa kepayahan ketika melakukannya. Ada pendapat bahwa (lanjut usia) adalah penyakit, dengan dalil ”Tidaklah Allah swt menurunkan penyakit kecuali pasti menurunkan untuknya obat selain pikun”. Untuk ukuran fidyah yang difahami oleh Muhammadiyah adalah satu mud yang nilainya kurang lebih 0,5 liter.

3.      Orang yang kelaparan, kehausan & takut binasa
Para ulama berkata, ”Barang siapa kelaparan dan kehausan sehingga khawatir binasa maka ia harus berbuka meskipun dalam keadaan sehat dan tidak safar”, berdasarkan firman Allah swt

ولا تقتلوا انفسكم انٌ الله كان عليكم رحيما ( النسأ: 29)
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu”. (QS. an-Nisa: 29).
ولا تلقوا بايديكم الى التهلكة ( البقرة: 195)
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”.(QS. al-Baqarah 195).

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ                                                         
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. al-Hajj: 78).
Untuk orang yang kelaparan, kehausan dan takut binasa, maka ia wajib mengqadha puasanya sebagaiman halnya orang sakit.
4.      Perempuan hamil & menyusui
Perempuan ketika hamil terkadang merasa khawatir terhadap dirinya dengan merasa payah dalam menjalankan puasa atau juga khawatir terhadap bayi yang dikandungnya, begitu juga dengan keadaan orang yang menyusui. Para Ahli Fiqih sepakat bahwa keduanya berhak untuk berbuka, sebagaimana sabda Nabi saw: ”Sesungguhnya Allah mencabut puasa dan separuh shalat dari musafir serta mencabut puasa dari perempuan hamil dan menyusui”. (HR. Nasa’i & Ibnu Majah).
Mayoritas Ahli Fiqih memperlakukan kedua orang ini sebagaimana orang sakit sehingga keduanya berbuka dan mengqadha, akan tetapi Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Sirin dan kalangan tabi’in berpendapat bahwa mereka harus membayar fidyah dan tidak usah mengqadha. Ibnu Abbas meriwayatkan, dikatakan bahwa ia pernah menyuruh anak perempuannya yang tengah hamil agar berbuka di bulan Ramadhan, ia berkata ”kamu sama dengan orang tua renta yang tidak mampu berpuasa, karenanya berbukalah dan berilah makan orang miskin setiap hari ½ sho gandum.
Ibnu Katsir menuturkan (1/215) bahwa tentang kedua uzur ini banyak perselisihan pendapat, ia berkata: ”sebagian berpendapat bahwa keduanya berbuka, membayar fidyah dan dan mengqadha dan sebaian ulama yang lain lagi mengharuskan mengqadha tanpa harus membayar fidyah.
5.      Orang yang mati meninggalkan hutang puasa
Bagi orang yang mati namun meninggalkan hutang puasa maka hutang dari puasanya tersebut diqadhakan oleh walinya, sebagaimana hadis marfu’ dari Aisyah ra.
من مات وعليه صيام صام عنه وليَه.
Barang siapa meninggal dunia sedangkan ia memiliki tanggungan puasa maka walinya wajib berpuasa untuknya!”. (al-Bazzar meriwayatkan dengan tambahan ” jika ia mau”) [11]
Memberi makan kepada fakir miskin untuk mayit dengan menggunakan harta peninggalannya sebanyak hari-hari yang ditinggalkan tanpa puasa, karena ia berhutang kepada Allah yang berhubungan dengan peninggalannya. Sebagian ulama mensyaratkan adanya wasiat untuk itu dari si mayit,  jika tidak ada maka harta peninggalannya tidak boleh dipergunakan sedikit pun karena ia hak ahli waris.


PUASA SUNAH
Rasulullah saw telah mengajarkan berbagai macam puasa sunah yang sifatnya bukan ketentuan pokok yang tidak boleh tidak harus dikerjakan, melainkan bersifat anjuran bagi siapapun dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Diantara puasa sunah tersebut antara lain:[12]
1.      Puasa Syawal
Puasa Syawal ialah puasa yang dilaksanakan setelah tanggal 1 Syawal sebanyak 6 hari. Puasa ini dapat dilaksanakan secara berturut-turut ataupun tidak.
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ ِ
Dari Abi Ayyub ra ia telah berkata, telah bersabda Rasulullah saw::”barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian diikutinya dengan 6 hari syawal, ia bagikan orang yang berpuasa sepanjang masa”. (HR. Muslim dari Abu Ayyub).


2.      Puasa Senin - Kamis
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَكْثَرَ مَا يَصُومُ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسَ قَالَ فَقِيلَ لَهُ قَالَ فَقَالَ إِنَّ الْأَعْمَالَ تُعْرَضُ كُلَّ اثْنَيْنِ وَخَمِيسٍ أَوْ كُلَّ يَوْمِ اثْنَيْنِ وَخَمِيسٍ فَيَغْفِرُ اللَّهُ لِكُلِّ مُسْلِمٍ أَوْ لِكُلِّ مُؤْمِنٍ إِلَّا الْمُتَهَاجِرَيْنِ فَيَقُولُ أَخِّرْهُمَا

“Dari Abu Hurairah, adalah Nabi saw lebih sering berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Kemudian orang bertanya tentang alasannya. Maka jawab beliau: “Sesungguhnya semua amal akan dipersembahkan pada setiap hari Senin dan Kamis, maka Allah pun berkenan mengampuni terhadap dosa setiap muslim, atau dosa setiap mukmin, kecuali terhadap dua orang yang bermusuhan. maka Allah swt berfirman: ”tangguhkanlah terhadap keduanya”. (HR. Ahmad dari Abu Hurairah).
3.      Puasa ‘Arafah
Puasa ‘Arafah adalah puasa sunah yang dituntunkan oleh Rasul pada setiap muslim yang sedang tidak melakukan ibadah haji. Sedangkan bagi orang yang menunaikan ibadah haji, tidak dituntunkan, bahkan Rasulullah saw melarang orang yang sedang wukuf di ‘Arafah melakukan puasa ini.
     
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً وَصَوْمُ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً
 Dari Abu Qatadah telah bersabda Rasulullah saw: ”Puasa pada hari ‘Arafah dapat menghapuskan dosa selama dua tahun, yaitu satu tahun yang telah lewat dan satu tahun yang akan datang”.
(HR. Jama’ah kecuali Bukhari dan Turmudzi dari Abu Qatadah)
4.      Puasa ‘Asyuro
Puasa ‘asyuro adalah puasa sunah yang dilakukan pada tanggal 10 pada bulan Muharram.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَرْفَعُهُ قَالَ سُئِلَ أَيُّ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ وَأَيُّ الصِّيَامِ أَفْضَلُ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ فَقَالَ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلَاةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ وَأَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللَّهِ الْمُحَرَّمِ
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw ditanyalah: “Shalat manakah yang lebih utama setelah shalat fardhu?”, beliau menjawab: “Yaitu shalat di tengah malam.” Ia menanyakan lagi: “Puasa manakah yang lebih afdhal?”, beliau menjawab : ” Puasa pada bulan Allah yang kamu namakan bulan Muharram”. (HR Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan)

Puasa ‘asyuro ini memang dijadikan amalan oleh ummat sebelum Nabi saw. Dalam hadis-hadis lain diterangkan bahwa puasa ‘asyuro adalah puasa yang biasa dilakukan oleh Bani Israil  sebagai rasa syukur kepada Allah atas pertolonganNya, Nabi Musa dan kaumnya selamat dari ancaman Fir’aun. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah beliau mengatakan:
سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُا حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: ketika Rasulullah saw berpuasa pada bulan ‘asyuro, para sahabat bertanya “Ya Rasulullah sesungguhnya hari ini adalah hari dimuliakannya orang-orang Yahudi dan Nashrani? Lalu beliau bersabda: ”Apabila tahun mendatang tiba, Insya Allah kita berpuasa pada hari yang kesembilan”. Namun sebelum sampai tahun yang ditunggu, Rasulullah telah wafat. (HR. Ibnu ‘Abbas)
Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa puasa ‘asyuro dibagi menjdi tiga tingkatan:
a.    Puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9,10 dan 11 bulan Muharram.
b.    Puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 dan 10 bulan Muharram.
c.    Puasa pada tanggal 10 Muharram seperti termaktub dalam hadis Abu Hurairah maupun Mu’awiyah.
5.      Puasa Sya’ban
Puasa Sya’ban termasuk puasa yang disunahkan oleh Rasulullah saw, namun mengenai harinya tidak ditentukan secara pasti.
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ

Aku tiada pernah melihat Rasulullah saw melakukan puasa dalam sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan, dan tidak pula aku melihat satu bulan pun yang hari-harinya dipergunakan Nabi saw untuk berpuasa kecuali pada bulan Sya’ban”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra)
6.      Puasa Putih
Puasa putih atau shiyamul-bid:dl adalah puasa sunah yang dilakukan pada tanggal 13,14 dan 15 bulan Qamariyah.

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصُومَ مِنْ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ الْبِيضَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
Kami diperintahkan oleh Rasulullah saw agar berpuasa sebanyak tiga hari setiap bulannya, yakni pada hari-hari cemerlang, tanggal tiga belas, empat belas dan lima belas. (HR. Nasa’i dan disahkan oleh Ibnu Hibban dari Abu Dzar al-ghifari)
7.      Puasa Daud
Puasa daud adalah puasa yang dulu pernah dilakukan oleh Nabi Daud as, yang dilaksanakan sehari puasa dan sehari berbuka.
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
 Sesungguhnya Abdullah bin Amr bin Ash ra mengabarkan bahwa Rasulullah saw berkata kepadanya: Puasa yang lebih disukai oleh Allah ialah puasa Daud, dan shalat yang lebih disukai Allah adalah shalatnya Nabi Daud. Ia tidur seperdua malam, bangun sepertiganya lalu tidur seperempatnya. Dan adalah ia berpuasa sehari dan berbuka sehari”. (HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr ra)


PUASA YANG TERLARANG
Dalam ajaran Islam ada beberapa hari yang diharamkan untuk berpuasa, disamping juga karena kondisi tertentu yang menyebabkan puasa sunahnya menjadi haram. Beberapa puasa yang diharamkan itu antara lain:
1.      Puasa pada hari raya
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ سَمِعَ أَبَا عُبَيْدٍ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ أَمَّا يَوْمُ الْفِطْرِ فَفِطْرُكُمْ مِنْ صَوْمِكُمْ وَأَمَّا يَوْمُ الْأَضْحَى فَكُلُوا مِنْ لَحْمِ نُسُكِكُمْ

“Sesungguhnya Rasulullah saw melarang berpuasa pada kedua hari ini (‘Idain). Adapun pada hari raya Fithri, karena ia merupakan saat hari berbuka dari puasamu (Ramadhan), sedang hari raya Adha, agar kalian dapat menyantap hasil kurbanmu”. (HR. Ahmad dan empat imam lainnya dari Umar ra)
2.      Puasa pada hari Tasyri’
Puasa sunah yang dilakukan pada tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah adalah tidak sah dan haram hukumnya.
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا أَبِي عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ مَسْعُودِ بْنِ الْحَكَمِ الْأَنْصَارِيِّ ثُمَّ الزُّرَقِيِّ عَنْ أُمِّهِ أَنَّهَا حَدَّثَتْهُ قَالَتْ لَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ عَلَى بَغْلَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْضَاءِ حِينَ وَقَفَ عَلَى شِعْبِ الْأَنْصَارِ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهُوَ يَقُولُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّهَا لَيْسَتْ بِأَيَّامِ صِيَامٍ إِنَّمَا هِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ
“Bahwasanya Rasulullah saw mengutus Abdullah bin Khudzafah berkililing kota Mina untuk menyampaikan: “Janganlah kalian berpuasa pada hari ini, karena ia merupakan hari makan-minum dan mengingat Allah Azza wa Jalla”. (HR. Ahmad dari Abu Hurairah ra)
3.      Puasa Abad
Ajaran Islam melarang seseorang berpuasa sepanjang tahun tanpa pernah berhenti barang sehari penuh.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَامَ مَنْ صَامَ الْأَبَدَ
Dari Abdullah bin Amr, ia berkata: “Tidaklah berarti puasa orang berpuasa sepanjang masa”. (HR. Bukhari Muslim dan Ahmad)
4.      Puasa seorang istri yang suaminya tidak mengizinkan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ يَوْمًا مِنْ غَيْرِ شَهْرِ رَمَضَانَ إِلَّا بِإِذْنِهِ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي سَعِيدٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
”Dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi saw bersabda: ”Janganlah seorang wanita itu berpuasa sekalipun hanya satu hari apabila suaminya berada di rumah, kecuali dengan izinnya- selain puasa Ramadhan”. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah ra).
5.      Puasa khusus hari Jumat
     Hari Jum’at adalah hari raya bagi kaum muslimin, dan oleh karena itu Rasulullah saw melarang seseorang yang melakukan puasa khusus hari Jum’at saja.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَّا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ
”Dari Abu Hurairah ra, ia mendengar Rasulullah saw bersabda: ”Janganlah kalian berpuasa pada hari jum’at, kecuali jika disertai oleh satu hari sebelumnya atau satu hari sesudahnya”. (HR. Bukhari Muslim dari Jabir ra)

HIKMAH IBADAH PUASA
Bagi seseorang yang benar-benar menjalankan tata aturan ibadah puasa dengan tertib sebagaiman yang telah dituntunkan, disamping akan menemukan maksud tujuan utama dari ibadah tersebut, ia pun akan mendapatkan keutamaan-keutamaan yang banyak. Diantara fadhilah-fadhilah tersebut adalah:
a.       Dengan berpuasa jasmani akan menjadi sehat
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa sesungguhnya perut itu merupakan sarang dari sekian penyakit. Itulah sebabnya dalam dunia kedokteran puasa atau diet merupakan salah satu terapi unggulan untuk mengatasi berbagai macam penyakit yang diderita menusia.
Dalam suatu penelitian di dunia kesehatan ditemukan fakta bahwa orang yang berpuasa selama 14 jam sama sekali tidak akan mengalami perubahan apapun dalam tubuhnya. Perubahan baru terjadi setelah berpuasa selama 18 jam, dan akan mengalami kematian kalau sampai berpuasa selama 56 hari. Adapun yang menyebabkan seseorang merasa lapar ketika brpuasa ialah karena adanya kekurangan jumlah zat gula (glukosa) yang ada dalam darah, yaitu manakala sampai berkurang sampai 15 mg/100cc. Padahal rata-rata jumlah darah pada setiap orang sebanyak 5000cc. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang baru akan merasa lapar kalau glukosa berkurang sampai 750 mg.
b.      Dengan ibadah puasa seseorang akan memiliki sifat perwira (iffah)
Hikmah yang didapatkan oleh seseorang yang melaksanakan ibadah puasa adalah dimilikinya sifat perwira atau iffah. Sifat perwira ditunjukkan dengan kemampuannya mengendalikan dan mengarahkan berbagai nefsu terutama nafsu makan dan minum, nafsu syahwat dan hargadiri.
Dalam dunia psikologi tokoh Sighmund Freud - pendiri aliran psikoanalisa menyatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua dorongan nafsu yang sangat dominan, yaitu dorongan utuk mengembangkan hidup/nafsu kelamin dan dorongan untuk memperthankan hidup/nafsu makan dan minum. Sementara yang lain, yaitu Alfred Adler menyatakan bahwa pada diri manusia hanya ada satu dorongan utama, yaitu dorongan untuk memegahkan diri atau harga diri.
c.       Dengan ibadah puasa menambah kepekaan bahwa dirinya selalu    diawasi oleh Allah swt (muraqabah)
Pada intinya puasa dalam syari’at Islam merupakan tempat berlatih meningkatkan kesadaran dan menghayati bahwa setiap perbuatan, betapapun kecil dan remahnya nilai yang ada padanya pasti diketahui oleh Allah. Penghayatan ini diwujudkan antara lain selama seharian penuh ia pantang memakan makanan yang ada dihadapannya sekalipun makanan itu adalah halal dan merupakan miliknya sendiri.






[1] Fiqih Islam bab puasa hal 133
[2] Nailul author bab puasa jilid 2 hal.551
[3] HPT bab cara berpuasa hal 170
[4] Fiqih Islam wa adillatuhu bab niat hal 774-777
[5] Fiqih Islam bab puasa hal.149
[6] Fiqih Islam bab puasa hal.151
[7] Bid’ah-bid’ah yang dianggap sunah hal.160-161
[8] HPT Kitab Puasa’ hal.177
[9] Fiqih Islam (H.Sulaiman Rasyid) hal.230-233
[10] Fiqih Islam (H.Sulaiman Rasyid) hal.233
[11] Majmu’ Az-Zawaid 3/179
[12] Nailul Author bab puasa tathowwu’ hal.602-613

0 komentar: