Selasa, 26 Juni 2012

Menikah, Antara Nikmat dan Tanggung Jawab

Pernahkah terbesit dalam benak kita tentang indahnya pernikahan? Terbayang-bayang akan nikmatnya
menikah dan keberadaan sang suami di sisi. Angan-angan melambung tinggi, hati tentram ada pendampingnya. Bersua dalam suka maupun duka. Namun di sisi yang lain, tatkala kita memikirkan bekal­bekal pernikahan, subhanallah, betapa beratnya tanggung jawab seseorang yang berpredikat zaujah (istri), apalagi bergelar ummahat (Ibu). Dia harus taat pada suami selama bukan maksiat, lisannya harus pandai merangkai kata, menyimpan rahasia keluarga, mengatasi masalah yang ada, dan masih banyak lagi segudang kewajiban yang harus dilaksanakan. Menikah ternyata bukan sekedar mereguk nikmat, tapi juga meretas jalan panjang penuh tanggung jawab.

Indahnya Menikah, Nikmatnya Tiada Tara

Pernikahan memang identik dengan bayangan kenikmatan dan keindahan yang mungkin menjadi suatu hal yang untouchable bagi orang yang belum menikah. Dan pada kenyataannya, hampir tiap pengantin baru mengakui bahwa menikah adalah suatu ken ikmatan tersendiri bagi mereka.

Begitupula jika kita membaca banyak buku dan literatur yang membahas dan  menggambarkan tentang indahnya menikah. Disana akan kita temui sebuah deskripsi yang begitu mempesona dan menggiurkan, hingga membuat hati para lajang tak sabar untuk segera merasakan. Sebagaimana yang ditulis oleh Syaikh Mahmud Mandi Al-Istambuly dalam kitab Tuhfatul 'Arus­nya. Beliau menuliskan bahwa pernikahan merupakan nikmat Allah atas hamba­Nya. Dimana kehidupan di dunia ini akan menjadi gersang tanpa adanya kesenangan yang menunjang.

Oleh karena itu, di awal pembahasannya beliau membicarakan mengenai kebijaksanaan Allah yang memberikan kepada manusia kecenderungan atau nal uri (ghorizah) terhadap kesenangan, dimana Allah telah memberikan jalan (cara) yang telah Dia tetapkan sebagai penyaluran ghorizah tersebut. Di antaranya adalah pemikahan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan­Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Juga dijadikannya di antaramu mawaddah wa rahmah (rasa kasih dan sayang). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir" (QS. Ar-Ruum:21).

Dan pada ayat yang lain, "Dialah yang menciptakan engkau dari diri yang satu, dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia  merasa senang kepadanya." (QS. Al-A'raaf:189).

Kebahagiaan hidup yang bersifat ruhaniah dari seorang suami merupakan kebutuhan yang tidak di dapat kecuali pada diri sang istri sebagai pendamping hidupnya. Istri akan menjadi penyejuk mata dan hati bagi suami, pelepas dahaga dan gejolak hasratnya, tempat untuk melabuhkan kasih sayang dan cinta, mengungkap rindu, merajut kemesraan dan meluapkan perasaan yang terdalam. Dan demikian pula sebaliknya seorang istri terhadap suaminya. Ada canda yang menyegarkan, ada kehangatan yang menyejukkan, ada perhatian, ketulusan, ketenangan dan kedamaian. Dan ada rasa yang sungguh tak terlukiskan. Karena memang tak cukup kata-kata untuk mengungkapkan atau mengekspresikannya. Ah, indah nian menikah.

Beratnya Tanggung Jawab

Tatkala seorang wanita memutuskan untuk menikah, maka melekatlah pada dirinya jabatan-jabatan yang secara otomatis akan disandangnya. Jabatan-jabatan itu antara lain sebagai istri, manager rumah tangga, tukang bersih-bersih, koki, binatu, bendahara, asisten direktur dan guru bagi anak-anaknya. Di sisi yang lain dia juga menjadi koordinator pelaksana proyek rumah tangganya dan harus melaksanakan job description-nya dengan baik, serta dituntut untuk dapat mengaktualisasikan skill-nya dengan sebaik mungkin. Yang jelas, konsekuensi yang akan diterima oleh seorang wanita yang telah menikah bukanlah hal yang main-main.

Karena itulah, menikah bukan sekedar membuai diri dengan kenikmatan dan keindahan serta terus menerus terlena oleh kesenangan-kesenangan yang ditawarkan. Ada nilai yang jauh lebih besar dari sekedar mereguk nikmat dalam menikah yaitu tanggung jawab. Tanggung jawab dan amanah yang diem* dalam sebuah pernikahan, merupakan suatu pekerjaan yang besar dan berat.

Pentingnya sebuah taggung jawab dikuatkan pula oleh sabda Rasulullah ­Shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa setiap diri kalian adalah pemimpin, dan kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya dan akan dimintai pertanggungjawabannya, seorang suami bertanggung jawab atas anggota keluarga yang dipimpinnya dan akan dimintai pertanggungjawabannya, seorang istri bertanggung jawab atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan dimintai pertanggungjawabannya." (HR. Bukhari dari Abdullah bin Umar).

Sebagaimana disebutkan pula oleh Dr. Muhammad bin Muhammad Aba Bathin dalam AI-Mar'ah Al-Muslimah fi Manzilihaa, yang membahas tentang tugas wanita muslimah di dalam rumah, bentuk­bentuk tugas dan tanggung jawab seorang istri dan ibu diantaranya adalah melayani suami dan selalu mencari keridhaan suami selama tidak bermaksiat kepada Allah dan senantiasa memberikan yang terbaik untuk rumah tangga dan keluarganya, mengurus, mengatur, menata dan membersihkan rumah, menyiapkan makanan yang terjaga kehalalan dan ke-thoyyib-annya dan menyiapkan keperluan anggota keluarga seperti menyiapkan pakaian yang syar'i dan perlengkapan lainnya. Ketika is dikaruniai Allah seorang anak dia juga perlu tahu bagaimanacaramengurusanak, mendidiknya balk dari aspek ruhani/keimanan, akhlak, sosial, jasmani dan seksual, merawatnya serta memilihkan tempat pendidikan yang baik untuknya dan lain-lain.

Selain itu, dibutuhkan pula kedewasaan sikap, kematangan ilmu dan pola berpikir. Dan untuk mewujudkan itu semua, tentu diperlukan persiapan bekal yang cukup dan memadai jika kita belum menikah. Pun bila dunia rumah tangga telah kita masuki, maka learning by doing harus terus dilakukan. Karena menikah adalah medan untuk mengasah kemampuan dindan merealisasikan ilmu yang dimiliki.

0 komentar: